Baru-baru ini seorang warga bernama Harry Sutanto mengatakan kepada media bahwa ia sangat menyesalkan sikap PT KAI yang tetap mengklaim lahan miliknya bersertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Lahan seluas 1.838 meter persegi itu terletak di Jalan Jati Baru No.57-59, Kelurahan Kampung Bali, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Saya tidak habis pikir masa PT KAI dengan modal peta grondkaart yang dikeluarkan tahun 1940 oleh Belanda, bisa mengklaim lahan saya yang bersertifikat HGB yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat, tahun 1999," ucapnya. Ia menilai hal ini tidak masuk akal karena peta bukanlah sebagai hak bukti tanah, sedangkan PT KAI beranggapan peta itu adalah Sertifikat Tanah buatan Belanda.
Perihal keabsahan grondkaart dimata hukum Indonesia sebenarnya sudah sering kali dibahas. PT KAI (Persero) pun kerap mengadakan Focus Grup Disscusion (FGD) terkait Grondkaart dengan mengundang beberapa pakar dibidang hukum maupun agraria.
Ketidakpahaman terhadap posisi grondkaart sebagai alas hak tentu akan menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan dan berujung pada meja hijau. PT KAI (Persero) sering kali mendapat tuntutan dari masyarakat atas polemik ini, namun perusahaan pelat merah itu selalu dimenangkan dalam pengadilan karena memiliki bukti yang kuat yakni grondkaart.
Grondkaart tidak hanya sekedar peta tanah seperti yang dikatakan masyarakat pada umumnya. Didalamnya terdapat bentang lahan yang dipetakan berdasarkan hasil pengukuran tanah oleh lembaga yang berwenang pada saat penerbitannya. Perlu dipahami bersama, definisi grondkaart jauh lebih luas daripada hanya sebagai panampang, dan memiliki definisi konseptual (bukan definisi terbatas atau padan kata). Oleh karena itu dalam sistem hukum atau administrasi dari struktur pemerintahan dan peradilan di Indonesia, grondkaart tetap disebut begitu dan tidak bisa diterjemahkan.
Pemahaman tentang grondkaart hanya bisa diperoleh ketika ditempatkan dalam konteksnya yakni secara kontekstual dan struktural. Secara kontekstual, untuk memahami grondkaart diperlukan pemahaman tentang era pembuatan grondkaart yakni zaman kolonial. Maka kajian dan pendekatan historis sangat penting untuk diterapkan. Tanpa menggunakan pendekatan historis dan memahami masa lalu, akan terjadi dua resiko yang sangat besar yakni Penarikan kesimpulan yang salah terhadap grondkaart serta Anakronisme, yaitu memandang suatu peristiwa dari kacamata zaman yang berbeda.
Hal ini jarang diketahui dan diterapkan oleh ilmuwan maupun masyarakat sehingga mereka dengan mudahnya menarik kesimpulan bahwa grondkaart hanya penampang peta biasa.
Grondkaart sendiri memiliki fungsi sebagai bukti yang menunjukkan bidang tanah/lahan yang telah dibebaskan oleh pemerintah Hindia Belanda baik dengan pembayaran ganti rugi atau tanah komunal yang kemudian semuanya dinyatakan sebagai tanah pemerintah. Dasar dari perubahan status ini dimuat dalam surat keputusan pemerintah  (gouvernement besluit) tanggal 19 Januari 1864 nomor 8.Â
Dalam surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa pemerintah bisa melakukan pembebasan lahan apapun bila diperlukan dan memberikan status menjadi tanah pemerintah serta menyerahkannya kepada pihak lain yang memiliki hubungan hukum yang sah dengan pemerintah.Â
Tanah yang dibebaskan tersebut diukur oleh lembaga pertanahan pemerintah (kadaster) dan hasilnya akan tertuang dalam bentuk surat ukur tanah kemudian diberi nomor urut kadaster. Sejak itu tanah-tanah tersebut dinyatakan resmi sebagai milik pemerintah (eigendom van gouvernement) dan saat akan digunakan untuk fungsi tertentu maka dibuatlah grondkaart dari surat ukur tersebut.
Grondkaart juga memiliki dua dasar hukum yakni hukum administrasi dan hukum material. Hukum administrasi sendiri terdiri atas dua berkas, yaitu surat keputusan pemerintah (gouvernement besluit) tanggal 21 April 1890 nomor 3.Â
Dalam surat keputusan tersebut dijelaskan bahwa setidaknya ada lima pihak yang membentuk satu tim bagi pembuatan grondkaart, yaitu kepala daerah tempat tanah yang dibuat grondkaart berada, petugas kadaster (BPN era kolonial) yang bertanggungjawab mengukur dan membuat surat ukur tanahnya, dua orang pejabat pemerintah yang terkait dengan proyek yang akan dibangun (bisa dari PU, BUMN, Perhubungan) serta pemegang hak kuasa atas tanahnya (dalam bentuk HGB, hak pakai, hak konsesi, hak petik, hak tanam).
Pemerintah juga menerbitkan surat keputusan baru tanggal 14 Oktober 1895 nomor 7. Dalam surat keputusan tersebut pada pasal 3 dan 4 dikatakan bahwa grondkaart adalah bukti letak tanah pemerintah lengkap dengan batas-batasnya yang disusun oleh lima pejabat terkait di atas dan disahkan sebagai alas hak sekaligus menunjuk pemegang hak tersebut yang dipercaya oleh pemerintah bertanggungjawab untuk digunakan selama kepentingan mereka masih berlangsung. Artinya terhitung sejak tanggal itu, grondkaart dianggap sebagai pengganti resmi alas hak bukti kepemilikan atas tanah pemerintah.
Dasar hukum kedua adalah hukum material dimana dalam setiap grondkaart juga tercantum kata-kata "grondkaart ini dibuat dan disetujui dengan surat keputusan/ketetapan Gubernur Jenderal atau Direktur...." (gemaakt of goedgekeurd door het besluit of beschikking van den Gouverneur Generaal/Directeur van...).Â
Jika grondkaart direvisi dan diterbitkan kembali, maka setiap hasil revisi akan disertai dengan catatan "disetujui dengan surat ketetapan dari direktur....." (goedgekeurd door het beschikking van den Directeur van .....). Direktur yang memberikan persetujuan dan pengesahan pun disesuaikan dengan kebutuhan.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 melalui keputusan Konperensi Meja Bundar di Den Haag, semua aset pemerintah kolonial menjadi aset pemerintah Indonesia termasuk semua tanah yang dibuktikan dengan grondkaart. Artinya semua tanah kereta api Belanda yang tertera dalam grondkaart menjadi aset Djawatan Kereta Api atau yang sekarang disebut PT KAI (Persero). Hal ini ditegaskan dalam Pengumuman nomor 2 tanggal 6 Januari 1950 dari Menteri Perhubungan, Tenaga Kerja dan Pekerjaan Umum
Grondkaart juga diakui keabsahannya oleh pihak-pihak yang memahami tentang hukum agraria seperti M Noor Marzuki, Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ia menjelaskan bahwa grondkaart sudah final dan menjadi salah satu bukti kepemilikan aset negara dimana pengelolaanya sudah diserahkan kepada masing-masing perusahaan BUMN Seperti PT. KAI (Persero).
Pendapat tersebut diperkuat oleh Dr. Iing R. Sodikin Arifin, Tenaga Ahli Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala BPN. Dikutip dari Tempo.co, Ia mengungkapkan bila pada dasarnya grondkaart sebagai alas hak yang kuat dan sempurna serta petunjuk bahwa tanah atau lahan tersebut ada yang memiliki. "Tanah aset perusahaan kereta api negara (SS) diuraikan dalam grondkaart dan diserahkan penguasannya kepada SS. Berdasarkan S.110/1911 jo S.430/1940 tanah grondkaart adalah hak beheer (penguasaan) milik SS," ujarnya.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa grondkaart hingga saat ini masih memiliki kekuatan hukum yang dapat dijadikan sebagai alas hak bagi BUMN.Â
Tidak banyak yang mengetahui keabsahan grondkaart namun sudah banyak ulasan yang menjelaskannya. Hal ini dapat menjadi rujukan bagi para ahli hukum serta ilmuwan yang selama ini hanya melihat grondkaart sebagai peta dan menganggap sudah tidak berlaku lagi di sisi hukum Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H