Mohon tunggu...
Santi Sastroamidjojo
Santi Sastroamidjojo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang ibu dari tiga orang anak, yang menjalani hari dengan perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.\r\nSuka menulis, suka membaca, suka berteman, suka kejujuran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta, Kota Kelahiranku

30 Desember 2014   06:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:12 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya lahir di Jakarta, 53 tahun yang lalu. Ayah saya, Koentadyarto Sastroamidj juga lahir di Jakarta.

Kakek saya, Soeratno Sastroamidjojo adalah wakil wali kota Jakarta ketika Jakarta dipimpin oleh Soediro. Walaupun saya tidak sempat mengenal secara pribadi siapa kakek saya, namun saya bangga sebagai cucunya. Semua tentang kakek saya, cuma bisa saya dengar lewat cerita.

Membicarakan Jakarta, tidak akan ada habisnya. Jakarta sebagai kota yang tidak pernah tidur, juga punya cerita yang tidak pernah akan selesai. Pergantian pemimpin terus berkesinambungan, sesuai roda kehidupan, membuat masalah yang dihadapi Ibu kota ini tidak pernah akan habis. Semuanya sesuai perkembangan zaman.

Di awal kemerdekaan, Jakarta sudah pernah menjadi masalah, hingga apda suatu masa Ibu kota RI dipindahkan ke Jogjakarta. Oleh karena itu, sejak awal berdirinya Negara RI, Jakarta memang selalu bergerak, penuh dinamika. Begitu juga dengan masalah yang dihadapinya.

Satu hal yang membuat Jakarta bertambah-tambah masalahnya sejak awal adalah urbanisasi. Karena Jakarta sebagai Ibu kota seperti menjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik pada kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Bayangkan, ketika saya lahir jumlah penduduk kota Jakarta adalah 2.906.533,

Dengan luas daerah 661,52 km2 yang tidak pernah bertambah, pada tahun 2014 penduduk Jakarta mencapai 10.187.595 jiwa. Bayangkan bagaimana pertumbuhan penduduknya begitu pesat.

Dari pertumbuhan penduduk itulah, masalah yang dihadapi Pemerintah Daerah semakin kompleks. Terutama dalam hal transportasi, fasilitas umum, layanan publik dan masalah sosial budaya.

Akhir-akhir ini yang menjadi perhatian adalah masalah infra struktur menyangkut fenomena banjir. Hal mana tidak dapat dilepaskan dari masalah kependudukan. Penduduk dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan di kali / sungai, membangun tempat tinggal di bantaran kali, hingga fasilitas drainage yang tidak layak yang juga disebabkan jumlah penduduk yang sangat banyak.

Lalu ada lagi masalah transportasi umum. Ini juga menyangkut populasi penduduk, sekali lagi. Jumlah alat transportasi terus menerus berkurang seiring bertambahnya jumlah penduduk.

Itu hanya beberapa masalah umum yang terlihat di permukaan, yang selalu menjadi Pekerjaan rumit sang Kepala Daerah.

Berantai di belakangnya, masalah penghidupan. Banyak penduduk Jakarta yang tidak memiliki pekerjaan, karena tingkat pendidikannya yang rendah, atau lapangan pekerjaan yang tidak cukup tersedia.

Belum lagi sebagai Pusat Pemerinahan Negara Republik Indonesia, Jakarta juga menjadi tempat tinggal perwakilan negara sahabat, yang tentu saja keamanannya membutuhkan tingkat perhatian yang tinggi.

Saya tidak ingin menyebutkan angka kriminalitas yang jumlahnya puluhan ribu, karena miris dan ngilu sendiri rasanya.

Yang saya ingin kemukakan adalah jumlah penduduk Jakarta yang tidak lagi bisa dikendalikan. Seperti juga kesadaran penduduknya akan kehidupan sosialnya, yang cenderung tidak perduli, pada kebersihan, pada tata-tertib, pada peraturan. Lihat saja lalu-lintas kota ini, semrawut. Semua seperti tidak ingin diatur. Menyerobot masuk jalur busway seperti sebuah lelucon. Sepeda motor yang berjalan zig-zag , dan selalu berada diantara kendaraan roda empat dengan kesombongannya.

Pengendara sepeda motor tidak mematuhi aturan lalu-lintas, sudah seperti bebal. Menyalahi aturan seperti sebuah ha biasa. Melawan arus, tidak memakai hel, menggonceng 2 orang dst .

Ekspektasi pada Kepala Pemerintahan kota Jakarta terlalu tinggi. Sedangkan penduduk tidak ada yang membantu. Gubernur dibilang galak dan arogan, padahal penduduk yang sulit diatur. Bayangkan saja, sudah tahu PKL tidak boleh berjualan di sekitar Monas, tetapi hampir setiap hari ada saja PKL nakal berjualan disitu, selalu saja merengek dan berteriak soal ketidak adilan. Hmmm....

Harusnya memang ada gerakan kontra urbanisasi. Atau memindahkan Ibu kota Negara ? Entahlah. Sebab penduduk kota Jakarta ini terlalu bebal untuk diingatkan soal Peraturan. Maaf.

Tulisan ini mungkin cuma sebuah tulisan, tapi kepedulian saya pada kota kelahiran ini sangat tinggi sebenarnya. Begitu tingginya hingga saya ingin sekali tidak bertempat tinggal disini lagi. Maaf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun