Mohon tunggu...
Santi Puspita Ningrum
Santi Puspita Ningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

accounting student with organizational experience in secretarial field. I am a person who likes administration and is interested in administrative management, besides that I have a desire to develop document management skills in an international scope. With my educational background and abilities, I am ready to contribute my time and competence.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perihal Pembelajaran

23 Desember 2024   05:28 Diperbarui: 23 Desember 2024   05:28 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan menyapa heningnya kota dengan lembut, seolah ingin memeluk setiap sudut yang penuh cerita. Di balik jendela kusam sebuah rumah tua, Adinda duduk termenung. Tatapannya mengembara jauh melampaui batas waktu, menelusuri kenangan yang tersembunyi dalam kabut masa lalu. Di tangannya, sebuah foto lusuh yang warnanya mulai pudar. Wajah dalam foto itu masih sama, meski kini hanya menjadi bayangan dari realitas yang pernah ada. 

Adinda menghela napas panjang. "Jika saja waktu bisa diputar kembali," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dulu, ia adalah seorang wanita yang penuh ambisi, seperti matahari di puncak siang yang tak pernah ragu memancarkan sinarnya. Ia percaya bahwa hidup adalah perlombaan, dan ia harus menjadi yang pertama mencapai garis akhir. Namun, ambisinya yang meluap-luap sering kali membuatnya mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya berharga.

Suatu hari, lima tahun lalu, Adinda bertemu Rama, seorang seniman jalanan yang hidupnya tampak seperti kanvas abstrak: penuh warna, tetapi sulit dipahami. Rama selalu membawa gitar tuanya ke mana-mana, memetiknya dengan nada-nada yang menceritakan kisah tanpa kata. Adinda jatuh cinta pada ketulusan Rama, meski ia tahu pria itu bukan bagian dari dunia ambisinya.

 "Apa kau tak ingin lebih dari ini?" tanya Adinda suatu malam saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman kota. Hujan rintik-rintik mengiringi percakapan mereka.

Rama tersenyum, sebuah senyuman yang penuh rahasia. "Hidupku adalah musikku, Din. Aku tak butuh lebih. Aku hanya ingin menjalani setiap nada dengan sepenuh hati." 

Jawaban itu membuat Adinda frustrasi. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu puas dengan apa yang ia miliki? Adinda yakin Rama punya potensi lebih, tetapi ia juga tahu bahwa mengubah seseorang bukanlah hal yang mudah. Ambisi Adinda akhirnya membawa mereka ke persimpangan jalan. Adinda mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kantor, mengejar proyek demi proyek, sementara Rama tetap setia pada gitarnya. Ketika cinta mereka mulai memudar seperti cat yang terkelupas, Adinda mengambil keputusan yang ia anggap benar: meninggalkan Rama. 

"Kau terlalu nyaman dengan hidupmu," kata Adinda saat perpisahan itu. 

"Aku butuh seseorang yang bisa berjalan di sampingku, bukan hanya berdiri di tempat yang sama." 

Rama hanya diam. Ia tak berusaha menahan Adinda. Hanya sebuah tatapan yang ia tinggalkan, tatapan yang terus menghantui Adinda hingga hari ini. 

Waktu berlalu. Adinda berhasil mencapai banyak hal yang dulu ia impikan: posisi tinggi di perusahaan, penghargaan, dan kekayaan. Namun, semua itu terasa hampa. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, memiliki segalanya tetapi kehilangan kebebasan untuk terbang. Pada suatu sore yang suram, Adinda memutuskan untuk kembali ke taman tempat ia dan Rama sering menghabiskan waktu bersama. Taman itu tak banyak berubah, kecuali pohon besar yang kini mulai meranggas. Di bawah pohon itu, Adinda menemukan sesuatu yang membuat hatinya mencelos: gitar tua Rama, tergeletak di sana seperti kenangan yang terlupakan. 

"Rama?" panggil Adinda, meski ia tahu jawabannya. 

Seorang pria tua yang sedang menyapu dedaunan di taman mendekat. "Kau mencarinya?" tanyanya. 

Adinda mengangguk pelan. 

"Dia sudah pergi," kata pria itu dengan nada lembut. "Beberapa bulan yang lalu, ia sering duduk di sini, memainkan gitarnya. Katanya, ia sedang menunggu seseorang. Tapi orang itu tak pernah datang." 

Kata-kata itu menghantam Adinda seperti badai. Ia duduk di bawah pohon, memegang gitar Rama. Jari-jarinya yang dulu lincah mengetik laporan kini mencoba memetik senar, tetapi yang keluar hanya nada-nada sumbang. Hujan mulai turun, kali ini lebih deras. Tapi Adinda tak peduli. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah, bercampur dengan rintik hujan. Ia menangis untuk Rama, untuk dirinya sendiri, dan untuk semua kesempatan yang telah ia sia-siakan. 

Sejak hari itu, Adinda berubah. Ia mulai belajar melihat hidup dengan cara yang berbeda. Ia berhenti mengejar sesuatu yang hanya memberinya kepuasan sementara dan mulai mencari makna sejati dari kebahagiaan. Gitar tua Rama kini menjadi temannya, mengajarkannya bahwa setiap nada, meski sumbang, punya cerita yang layak didengar. Adinda akhirnya memahami pelajaran hidup yang paling berharga: bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjalanan menuju pemahaman. 

Meski ia tak bisa memperbaiki masa lalu, ia bisa memilih untuk menjalani hari-hari ke depan dengan cara yang lebih baik. Dan di bawah pohon besar itu, Adinda memetik senar gitarnya, menciptakan melodi yang menjadi doa bagi Rama, bagi dirinya, dan bagi setiap jiwa yang pernah tersesat dalam labirin kehidupan. Karena pada akhirnya, setiap kesalahan adalah langkah menuju harmoni yang sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun