"Rama?" panggil Adinda, meski ia tahu jawabannya.Â
Seorang pria tua yang sedang menyapu dedaunan di taman mendekat. "Kau mencarinya?" tanyanya.Â
Adinda mengangguk pelan.Â
"Dia sudah pergi," kata pria itu dengan nada lembut. "Beberapa bulan yang lalu, ia sering duduk di sini, memainkan gitarnya. Katanya, ia sedang menunggu seseorang. Tapi orang itu tak pernah datang."Â
Kata-kata itu menghantam Adinda seperti badai. Ia duduk di bawah pohon, memegang gitar Rama. Jari-jarinya yang dulu lincah mengetik laporan kini mencoba memetik senar, tetapi yang keluar hanya nada-nada sumbang. Hujan mulai turun, kali ini lebih deras. Tapi Adinda tak peduli. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini tumpah, bercampur dengan rintik hujan. Ia menangis untuk Rama, untuk dirinya sendiri, dan untuk semua kesempatan yang telah ia sia-siakan.Â
Sejak hari itu, Adinda berubah. Ia mulai belajar melihat hidup dengan cara yang berbeda. Ia berhenti mengejar sesuatu yang hanya memberinya kepuasan sementara dan mulai mencari makna sejati dari kebahagiaan. Gitar tua Rama kini menjadi temannya, mengajarkannya bahwa setiap nada, meski sumbang, punya cerita yang layak didengar. Adinda akhirnya memahami pelajaran hidup yang paling berharga: bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjalanan menuju pemahaman.Â
Meski ia tak bisa memperbaiki masa lalu, ia bisa memilih untuk menjalani hari-hari ke depan dengan cara yang lebih baik. Dan di bawah pohon besar itu, Adinda memetik senar gitarnya, menciptakan melodi yang menjadi doa bagi Rama, bagi dirinya, dan bagi setiap jiwa yang pernah tersesat dalam labirin kehidupan. Karena pada akhirnya, setiap kesalahan adalah langkah menuju harmoni yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H