[caption id="attachment_362671" align="aligncenter" width="182" caption="https://www.facebook.com/AsmaNadia.Penulis?fref=ts"][/caption]
“... dia akan kuat sekuat Ayah dan Ibunya.”
Potongan kalimat itu menutup film yang sedang aku tonton “Assalamu’alaikum Beijing”. Perjalanan tertatih, untuk bisa bangkit dari pengalaman yang kurang menyenangkan. Kesabaran dan optimisme mengundang segala kebaikan datang, meski ujian hidup tidak pernah terbantahkan. Percaya bahwa masih ada yang Maha Mengatur dan membuat segalanya menjadi indah.
Aku bukan penggemar film, namun jejaring sosialku terhubung dengan Asma Nadia. Aku mendapatkan berbagai informasi tentang bagaimana pembuatan film itu, yang salah satunya mengambil setting di tempat wisata Tembok China, tempat ini harus ditutup kurang lebih 1,5 jam untuk pengambilan gambar tersebut.
[caption id="attachment_362670" align="aligncenter" width="450" caption="http://www.konfrontasi.com/content/khazanah/film-assalamualaikum-beijing-tutup-tembok-besar-tiongkok"]
Testimoni para selebrities, setelah melihat tayangan itu, salah satunya aku lihat Oki S, pemain “Film Ayat-Ayat Cinta” menyaksikan film ini, dan memberi nilai 99,9. (Ah gak ketulungan tingginya, untuk sisi lain aku juga setuju). Sepanjang film itu diputar Ia tidak lepas mata menatap layar. Ujarnya. Aku juga sayang beringsut dari tempat duduk sebelum selesai.
Terakhir aku baca surat terbuka Asma Nadia, yang meminta agar saat film itu tayang tanggal 30 Desember agar segera ditonton. Jangan menunggu 3 atau 4 hari kemudian. Karena jika dalam waktu seminggu penonton tidak begitu banyak, maka film itu akan segera turun dari bioskop. Begitu rumus film bisa sedikit awet bertengger di bioskop. Demi agar tetap bertahan dan menjadi pencerahan dalam waktu yang cukup bagi para remaja, maka meramaiakannya jadi pilihan.
Aku sendiri belum membaca detail isi novel tentang ini, tetapi dari membaca sinopsis film, rasanya film ini bisa menjadi satu pandangan bahwa masa lalu yang menyakitkan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan. Justru itu menjadi awal dalam mengubah arah haluan yang semula dibangun. Meski mungkin menyakitkan dan menyayat hati, tentu tidaklah seberapa dengan apa yang kita dapat dari buah kesabaran, dan ketangguhan dalam melewati segala persolaan.
Aku menyaksikan film ini di Botani Square, setelah mengecek tempat dan jadwal tayang di internet, akhirnya ada seorang teman yang juga sama nekat, meski sudah sore berangkat nonton. Satu yang menjadi tujuanku melihat film itu, aku ingin jika film yang memiliki nilai bagus, untuk bisa lebih lama bertahan dan memberi banyak pencerahan. Meskipun memang tidak mudah.
Beijing, tempat yang eksotik. Menjelajahi sudut kota, di tengah bangunan kuno dan daerah wisata, hehe.. seolah aku berada di sana. Menikmati transportasi di Beijing, keindahan bangunan yang unik, jalan yang luas, tembok cina yang meliuk, patung ashima, tarian dan pakaian khas china. Who Knows one da we’ll be there.
Meski bukan pengamat film maupun cerita dalam film. Namun aku bisa menceritakan apa yang aku rasa dalam film itu. Memang tidak mudah mengurai perjalanan cerita yang dikemas dalam durasi 90 menit menyentuh hati setiap penonton, tetapi saya menangkap makna yang dalam yang diantar oleh cerita dari film itu.