Mohon tunggu...
Santi Lisnawati
Santi Lisnawati Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga, dosen. Boleh berbagi tentang pendidikan

Berbagi apa yg boleh dibagi, di rumah jadi ibu rumah tangga, di kampus jadi dosen, di jalan jadi pengembara, dijalani untuk dapat terus berbagi..

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

“Assalamualaikum Beijing, Ketangguhan Jiwa dan Move On

1 Januari 2015   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_362671" align="aligncenter" width="182" caption="https://www.facebook.com/AsmaNadia.Penulis?fref=ts"][/caption]

“... dia akan kuat sekuat Ayah dan Ibunya.”

Potongan kalimat itu menutup film yang sedang aku tonton “Assalamu’alaikum Beijing”. Perjalanan tertatih, untuk bisa bangkit dari pengalaman yang kurang menyenangkan. Kesabaran dan optimisme mengundang segala kebaikan datang, meski ujian hidup tidak pernah terbantahkan. Percaya bahwa masih ada yang Maha Mengatur dan membuat segalanya menjadi indah.

Aku bukan penggemar film, namun jejaring sosialku terhubung dengan Asma Nadia. Aku mendapatkan berbagai informasi tentang bagaimana pembuatan film itu, yang salah satunya mengambil setting di tempat wisata Tembok China, tempat ini harus ditutup kurang lebih 1,5 jam untuk pengambilan gambar tersebut.

[caption id="attachment_362670" align="aligncenter" width="450" caption="http://www.konfrontasi.com/content/khazanah/film-assalamualaikum-beijing-tutup-tembok-besar-tiongkok"]

1420093604516588397
1420093604516588397
[/caption]

Testimoni para selebrities, setelah melihat tayangan itu, salah satunya aku lihat Oki S, pemain “Film Ayat-Ayat Cinta” menyaksikan film ini, dan memberi nilai 99,9. (Ah gak ketulungan tingginya, untuk sisi lain aku juga setuju). Sepanjang film itu diputar Ia tidak lepas mata menatap layar. Ujarnya. Aku juga sayang beringsut dari tempat duduk sebelum selesai.

Terakhir aku baca surat terbuka Asma Nadia, yang meminta agar saat film itu tayang tanggal 30 Desember agar segera ditonton. Jangan menunggu 3 atau 4 hari kemudian. Karena jika dalam waktu seminggu penonton tidak begitu banyak, maka film itu akan segera turun dari bioskop. Begitu rumus film bisa sedikit awet bertengger di bioskop. Demi agar tetap bertahan dan menjadi pencerahan dalam waktu yang cukup  bagi para remaja, maka meramaiakannya jadi pilihan.

Aku sendiri belum membaca detail isi novel tentang ini, tetapi dari membaca sinopsis film, rasanya film ini bisa menjadi satu pandangan bahwa masa lalu yang menyakitkan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan. Justru itu menjadi awal dalam mengubah arah haluan yang semula dibangun. Meski mungkin menyakitkan dan menyayat hati, tentu tidaklah seberapa dengan apa yang kita dapat dari buah kesabaran, dan ketangguhan dalam melewati segala persolaan.

Aku menyaksikan film ini di Botani Square, setelah mengecek tempat dan jadwal tayang di internet, akhirnya ada seorang teman yang juga sama nekat, meski sudah sore berangkat nonton.  Satu yang menjadi tujuanku melihat film itu, aku ingin jika film yang memiliki nilai bagus, untuk bisa lebih lama bertahan dan memberi banyak pencerahan. Meskipun memang tidak mudah.

Beijing, tempat yang eksotik. Menjelajahi sudut kota, di tengah bangunan kuno dan daerah wisata, hehe.. seolah aku berada di sana. Menikmati transportasi di Beijing, keindahan bangunan yang unik, jalan yang luas, tembok cina yang meliuk, patung ashima, tarian dan pakaian khas china. Who Knows one da we’ll be there.

Meski bukan pengamat film maupun cerita dalam film. Namun aku bisa menceritakan apa yang aku rasa dalam film itu. Memang tidak mudah mengurai perjalanan cerita yang dikemas dalam durasi 90 menit menyentuh hati setiap penonton,  tetapi saya menangkap makna yang dalam yang diantar oleh cerita dari film itu.

Keluasan, kelembutan dan kebeningan hati  akan bertemu dalam satu batin yang jernih dan terbuka luas. Ini yang tidak bisa didapat dengan jalan singkat dan sederhana. Terpaan hidup mendewasakan dan memberikan makna dan mengurai simpul yang terpancar dalam getar dan perilaku.  Asma dan Chung Xuan seolah menangkap getar nilai batin meski berbeda keyakinan. Proses belajar mengubah cara pikir dan kepetusan seseorang.

Bisa jadi  hal yang subyektif jika aku mengatakan bahwa ajaran dalam agama Islam membuat ketenangan bagi siapapaun yang sungguh-sungguh menjalankannya. Tetapi tidak saat orang mualaf merasakan dan  mengatakannya. Menangkap ketulusan hati, keteguhan jiwa dan ketaatan akan ajaran yang terasa hangat dalam hati.

Rasulullah saw telah lebih dahulu meletakkan prinsip-prinsip dalam kehidupan. Siapapun yang mengikuti jalannya tidak akan sedikit pun ragu menapaki kehidupan.  Ketabahan, kekuatan, dan ketangguhan percaya akan mampu menepis keraguan. Tidak perlu khawatir persoalan apapun yang datang. Masih ada lantai untuk bersimpuh, curahkan segala duka, asa dan bahagia.

Kept spirit, dihitungan awal 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun