Tumpek bermakna ketajaman pikiran dan kejernihan hati. Krulut berasal dari kata Lulut yang artinya senang atau cinta, bermakna jalinan atau rangkaian kasih sayang.Â
Setiap hari raya Tumpek, umat Hindu melaksanakan rangkaian upacara yang bermakna menghormati ajaran leluhur, mengingatkan kita senantiasa mengasah ketajaman pikiran, agar selalu fokus, tidak diperdaya oleh ego dan emosi yang bisa menghancurkan umat manusia.
Sanjaya (2010, 80) mengemukakan bahwa kata Tumpek berasal dari kata Tu (metu) yang berarti keluar atau lahir, dan pek yang berarti putus atau berakhir. Pengertian ini diambil berdasar dari Tumpek yang merupakan hari berakhirnya sapta wara atau saniscara, dan berakhir pula panca wara, yaitu kliwon. Dengan berakhirnya ini, maka merupakan hari raya Hindu yang patut dilaksanakan sebagai hari raya Tumpek.
Setiap agama memiliki hari suci yang dirayakan oleh umat pemeluknya. Baik itu terkait dengan awal mula berdirinya agama tersebut, hari lahir pemuka agama atau tokoh spiritual, tempat atau peristiwa terkait keagamaan.
 Pemaknaan filosofis hari suci agama berfungsi untuk semkin mendekatkan diri dengan Tuhan, melakukan aktivitas terkait dengan hari suci, dan sebagai srana meningkatkan kualitas diri dalam hal memberikan pelayanan bagi sesama umat manusia, leluhur, juga Tuhan. Hal ini memberikan bukti empiris bahwa pelaksanaan rangkaian kegiatan agama yang sakral tidak dapat terlepas dari kemasan ragam budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
Sang Ayu Asri Laksmi Dewi (https://laksmidewiblog.wordpress.com/2016/06/11/tumpek-krulut-dan-hari-kasih-sayang/) menjelaskan bahwa Rerahinan Tumpek adalah hari suci agama Hindu yang dirayakan setiap 210 hari sekali (6 bulan Bali), yaitu pada setiap hari Sabtu atau Saniscara Kliwon. Hari raya Tumpek adalah hari berdasarkan pawukon, dengan demikian nama Tumpek disesuaikan dengan nama wuku, misalnya Tumpek pada wuku Landep disebut Tumpek Landep, Tumpek pada wuku Krulut disebut Tumpek Krulut.
Tumpek Krulut jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Krulut. Pada hari ini umumnya masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara pada berbagai jenis tetabuhan seperti gong, angklung, dan berbagai alat gamelan lain. Krulut berasal dari kata Lulut, berarti senang, gembira, kepingon, seperti halnya suara tetabuhan gamelan yang mengalun dan dapat menyebabkan orang lain merasa senang.
Dalam gamelan, melinggih Bhatara Iswara (Dang), Siwa (Dung), Brahma (Deng), Wisnu (Dung), dan Maha Dewa (Dong). Melinggih pula Batara Maha Dewi, Uma Dewi, Saraswaati, Sri, dan Gayatri (Sanjaya, 2010). Â
Maka hari ini adalah hari baik dan tepat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menganugerahkan keindahan dalam seni dan budaya, berupa satu kesatuan nada dan irama dari gamelan, merdu dan menyenangkan hati, apalagi ditambah dengan keindahan penampilan para pemainnya, para penari atau penyanyi yang melantunkan kidung suci. Rangkaian keindahan dan keharmonisan ini yang patut diteladani umat manusia dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.