Kamis 6 September 2018, Pameran bertajuk "Whirling" dan "Muter Tattwa" di buka oleh Wakil Gubernur Bali di Museum Puri Lukisan, Ubud. Dua maestro seni lukis Bali, I Ketut Budiana dengan topik "Whirling", dan Ida Bagus Putu Sena dengan topik "Muter Tattwa" memamerkan serangkaian hasil karya mereka.
"Perlahan saja, jangan terburu dalam upaya memahami atau mencerna setiap hasil karya seseorang", Ujar beliau. "Tidak baik jika menelan mentah atau menerima begitu saja apa yang tersaji di hadapan kita". Tambah seniman I Ketut Budiana.
Memang benar. Aku jadi teringat dengan pepatah, "Never judge a book by its cover". Terkadang, kita dengan begitu mudah nya menghakimi dan memiliki persepsi terhadap orang lain, baik penampilannya, hasil karyanya, dan setiap perkataan orang lain. Padahal, belum tentu yang tersirat dan tersurat benar adanya.
Konsistensi sikapnya yang memadukan karakter pewayangan dengan nuansa kekinian menjelaskan bahwa budaya tetap bisa beradaptasi dengan situasi kekinian, tidak akan pernah lapuk digerus jaman.Â
Tokoh-tokoh wayang tetap relevan untuk dijadikan teladan, panutan, contoh di jaman sekarang. Hal ini sudah seharusnya didukung oleh masyarakat  dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang telah diwariskan leluhur tersebut agar sesuai dengan situasi yang ada sekarang.
Tattwa, Susila, Etika. Ya, ketiga ajaran warisan leluhur ini sungguh kuat tersirat dalam guratan yang dihasilkan Ida Bagus Putu Sena. Seolah mengingatkan setiap penikmat karya seni lukis nya untuk tiada pernah henti berpijak dari ketiga hal ini, agar senantiasa harmoni tercipta lahir dan batin dalam perjalanan kehidupan di dunia.Â
Seolah ingin menekankan kembali, Ida Bagus Putu Sena menjelaskan bahwa prestasi tidak dapat tercapai tanpa dukungan dari dalam diri sendiri dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat, baik keluarga, sahabat, dan masyarakat luas.
Hal ini memperlihatkan bahwa seniman ini, baik Ida Bagus Putu Sena, maupun I Ketut Budiana, merupakan sosok seniman langka yang telah tiba pada kesujatian diri sendiri, dan menemukan pola dalam berkarya secara mandiri, namun tidak terlepas dari pakem religi yang ada pada masyarakat Hindu.
Seniman yang sudah terbebaskan dari berbagai macam kepentingan akan semakin bebas berkarya, mewujudkan ide dan imajinasi. Hal ini yang akan menghantar seorang seniman memiliki taksu, kesujatian diri, energi dan spirit yang tidak hanya berasal dari luar.
Namun dari dalam diri sendiri. Istilah kerennya, tidak hanya sekedar ikut-ikutan pola yang berasal dari luar, bukan follower, namun menjadi trendsetter, menjadi trademark, menjadi diri sendiri.
Beragam pameran seni lukis yang pernah diikuti, berawal dari pameran di Museum Puri Lukisan di Ubud tahun 1973, 1976, dan 1988. Pameran di Jakarta, tahun 1974, pameran di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, tahun 1975 dan 1977. Â Pameran di Sydney Australia tahun 1977. Â Pameran di Tropen Museum, Belanda, tahun 1979 dan 1986. Pameran di Taman Budaya Denpasar, tahun 1979 dan 1991. Balinese Art Festival, Tokyo Jepang, 1985, The Festival of Indonesia (Amerika Serikat, 1990 dan 1992. Â Pameran di Rudana Gallery, Peliatan Ubud, tahun 1991. The World President Organization di Washington DC, AS, tahun 1992, Singapore Art Museum di Singapura, tahun 1994, Museum Nasional Jakarta, tahun 1995. Proyek Ogoh -- Ogoh di Seattle, Amerika Serikat, tahun 1995. Â Proyek Ogoh -- ogoh di Barcelona, Spanyol, tahun 1998. Indonesia -- Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo di Jepang, tahun 1997. Pameran tunggal di Tokyo Station Gallery, Jepang tahun 2003. Pameran tunggal bertajuk Cosmos, di Bentara Budaya, tahun 2014. Pameran di Balinese Art Festival di Tokyo, tahun 2015.
Sejarah perkembangan seni lukis Ubud sedikit banyak juga mempengaruhi buah tangan hasil karya beliau. Termasuk para seniman yang tergabung pada kelompok Pita Maha seperti Ida Bagus Made Kobot, Sobrat dan Turas, yang kemudian membawanya pada komposisi hasil karya gabungan dari modern dan tradisional, aliran Barat dan Timur, teknik dan pola guratan seni lukis tradisional Bali.
Pengalaman sebagai seorang guru di pemimpin Yayasan Ratna Wartha, penulis buku autobiografi dalam tiga bahasa (Jepang, Inggris dan Indonesia), juga peraih beberapa penghargaan baik nasional dan internasional, membuat kredibilitas beliau tidak diragukan lagi.
Seorang guru, tenaga pendidik, seniman lukisan, seorang abdi sangging yang merupakan ahli undagi yang digariskan semenjak leluhur, membuat proses pengalaman dan pendidikan menempa beliau menjadi seorang maestro yang tidak terbantahkan.Â
Sangging adalah ahli dalam membuat artefak terkait ritual budaya Bali, seperti Barong, Rangda, Bade, Pura. Hal ini membutuhkan laku spiritual khusus dengan tapa brata, tirta yatra, dan senantiasa menempa keahlian agar semakin berkompeten. Banyak para murid beliau yang berasal dari berbagai penjuru Bali, bahkan nusantara, yang kagum dan hormat, dan mengembangkan kemampuan berkat didikan dan tempaan beliau. Salah satunya adalah Satya Cipta.
Beristrikan seorang perempuan cantik, Ni Made Erni, dan memiliki empat putra serta putri yang cantik dan tampan, beliau menjelaskan bahwa keluarga adalah kekuatan terbesar yang dimiliki dalam menghasilkan sebuah karya. Hal ini menjelaskan dukungan penuh keluarga bagi beliau dalam berkreasi dan menghasilkan berbagai karya spektakuler.
Bagi pelukis ini, hasil karya seorang seniman sesungguhnya merupakan narasi panjang yang harus dipahami secara mendalam, bukan sesuatu yang ditelan mentah atau diterima begitu saja. Ini yang beliau sampaikan dengan ungkapan bahwa akan selalu ada dua sisi di dunia di dalam kehidupan ini.Â
Rwa Bhinedda, Yin dan Yang, baik dan buruk, benar dan salah, hitam dan putih, besar dan kecil. Sesuatu yang benar bagi kita, belum tentu demikian halnya di mata orang lain. Sesuatu yang bagi kita indah, belum tentu dianggap sempurna oleh pihak lain.
Sempat pula belajar dari pelukis Belanda, Rudolf Bonnet, beliau akhirnya memutuskan kembali ke jati diri, menemukan identitas diri dan melahirkan gaya lukisan sendiri. Setamat pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia, mengajar di berbagai sekolah, memimpin Yayasan Ratna Wartha di Ubud, menggambarkan bahwa seni juga bisa di dalami baik secara formil maupun informal. Hal ini memperlihatkan pengolahan matang proses pendidikan yang telah beliau lalui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H