Berbicara tentang budaya positif tentu tidak terlepas dari perilaku manusia (individu), sebagai salah satu elemen penyusun dari budaya itu sendiri. Budaya berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi (budi) yang berarti akal. Secara umum, budaya dapat diartikan sebagai cara hidup yang berkembang dalam sekelompok orang, dimana di dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai, persepsi, konsep moralitas, kode prilaku, ide dan preferensi yang rumit sebagai elemen penyusunnya.Â
Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal. Kita menyepakati bahwa nilai-nilai kebajikan universal berarti nilai-nilai kebajikan yang yang diakui bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan landasan dari sikap dan perilaku kita. Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, nilai-nilai kebajikan universal tersebut merupakan Tujuan Pendidikan Nasional yang dimanifestasikan melalui Profil Pelajar Pancasila.Â
Dimana secara garis besar dikategorikan dalam 6 dimensi, yaitu Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, Berkebhinekaan global, Bergotong royong, Mandiri, Bernalar kritis dan Kreatif. Untuk mewujudkan nilai-nilai itu, seorang pendidik harus memahami tentang perannya dalam menuntun perilaku murid menggali potensi positif murid sehingga bisa membawa keselamatan bagi dirinya dan masyarakat. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap orang.Â
Dan konsep dari belajar merdeka yang diusung KHD adalah, secara lahir bebas, dan secara bathin, mandiri. Menurut KHD dimana ada kemerdekaan maka disitulah ada displin yang kuat. Â Disiplin berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang.Â
Menurut Diane Gossen dalam Restructuring School Discipline, 2001, disiplin yang berasal dari bahasa latin yaitu diciplina yang berarti 'belajar', yang bermakna mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun.
Sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Dalam implementasinya selama ini, kita telah menggeser paradigma displin yang sesungguhnya menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapat kepatuhan. Paradigma ini lah yang akan kita rubah dalam menerapkan displin positif di sekolah. Â Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan. Ada tiga motivasi perilaku manusia, yaitu:
- Untuk menghindari ketidak nyamanan atau hukuman (motivasi eksternal)
- Untuk mendapatkan imbalan dari orang lain/institusi (motivasi eksternal)
- Untuk menghargai diri sendiri (motivasi internal)
Motivasi internal inilah yang diharapkan dapat tumbuh dalam diri murid, sebagai wujud keberhasilan penerapan disiplin positif di sekolah. Akan tetapi pada kenyataannya, untuk membangun motivasi intrinsik dalam diri seseorang, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini karena setiap individu terlahir dengan kodrat alam dan kodrat zaman yang ada dalam dirinya. Dimana masing-masing kodrat telah memiliki watak, laku yang masih tersembunyi dalam diri yang dipengaruhi oleh faktor genetik, dan lingkungan.Â
Tugas kita sebagai seorang pendidik lah yang menuntun laku baik murid-murid kita menjadi potensi positif menuju keselamatan bagi dirinya dan masyarakat. Meskipun tujuan mulia ini secara teoritis telah kita fahami, akan tetapi dalam praktiknya kita sendiri masih sering keliru dalam memaknai teori kontrol secara utuh. Ilusi guru bahwa guru dapat mengontrol murid, bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, bahwa semua orang dewasa memiliki hak untuk memaksa masih tetap dijalankan sebelum mengambil tindakan pendekatan yang lebih humanis terhadap kesalahan murid.Â
Padahal kita sendiri menyadari bahwa kita sendiri juga terkadang sering melakukan kesalahan-kesalahan yang didorong oleh motif-motif tertentu. Misalnya seorang guru terlambat datang ke sekolah karena menyiapkan sarapan keluarganya, akan tetapi gas di rumah habis. Seorang guru tidak melakukan proses pembelajaran dengan baik dan kreatif karena tidak menyiapkan pembelajaran secara terencana.Â
Dan banyak hal lain yang seharusnya menjadi fungsi refleksi bagi pendidik agar bisa merubah paradigma dalam dirinya menuju paradigma yang lebih lentur dan efektif. Paradigma kita dalam menilai perilaku manusia masih berorientasi pada konsep-konsep Stimulus Respon atau lebih dikenal dengan Stimulus Organism Respon (SOR). Stimulus respon yang selama ini kita implementasikan dalam perilaku lebih memaknai bahwa:
- Kita bisa mengontrol orang lain,
- kita mencoba orang lain agar berpandangan sama dengan kita,
- Perilaku buruk dilihat sebagai kesalahan
- Pemaksaan pada saat bujukan gagal
- Model berfikir menang kalah.