Mohon tunggu...
Santi Titik Lestari
Santi Titik Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Mari menulis!!

Menulis untuk mengawetkan ide dan berbagi ....

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Produktivitas Toksik, Tinggalkan!

26 Mei 2022   01:36 Diperbarui: 26 Mei 2022   01:47 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic. from: atlassianblog.wpengine.com

Homo faber, itulah sebutan bagi manusia yang adalah makhluk pekerja. Bekerja bisa menjadi nilai identitas diri. Orang yang bekerja terlihat "lebih baik" dibandingkan orang yang tidak bekerja. Dari dulu sampai sekarang, orang yang bekerja selalu akan mendapatkan penghargaan yang lebih dibandingkan yang tidak bekerja atau "terlihat seolah" tidak bekerja. Apalagi pada era ini .. era digital, semua terpapar di media sosial, termasuk urusan pekerjaan. Jika postingan kita saat bekerja mendapat view, comment, like banyak, makin melonjaklah kita.

Pada masa pandemi, produktivitas dalam bekerja banyak disoroti. Jika sebelumnya banyak yang bekerja di kantor, kini pekerja bisa mencicipi kerja dari rumah. Bahkan, fenomena berlomba-lomba mem-posting foto-foto ketika bekerja, menjadi tren kala itu. Jika terlihat sibuk, rasanya senang. Jika terlihat banyak kerjaan, rasanya bangga. Apalagi jika punya banyak kerjaan sampingan, serasa hidup ini sangat berguna dan produktif sekali. Bisa jadi 24 jam diisi dengan mengurusi pekerjaan-pekerjaan kita. Kapan waktu bersama keluarga? Bersama orang lain, bahkan diri sendiri? Eits, kapan-kapan!

Jangan bangga ketika "24 jam" bisa bekerja terus. Jangan-jangan itu gejala mengidap produktivitas toksik. Orang yang begitu mengagungkan produktivitas malah bisa menjadi toksik. Yang namanya toksik itu tidak baik, bisa membuat hidup kita "sakit". Nah, gimana bisa tahu kalau kita mengidap produktivitas toksik? Ini ciri-cirinya:

1. Suka bekerja terus.
2. Memiliki ekspektasi di luar diri sendiri (berelasi dengan orang lain, kesehatan dianggap sebagai distraksi).
3. Merasa susah beristirahat.
4. Suka mengabaikan hal kecil.
5. Jika melakukan me time merasa bersalah.
6. Kalau tidak bekerja serasa tidak produktif.
7. Tidak punya relasi emosional dengan orang-orang terdekat (keluarga, teman)
8. Istirahat dianggap menyita/menghabiskan waktu.

Budaya semacam ini tidak sehat. Sekarang mungkin kita belum terasa, tapi lama-lama bisa menggerogoti semangat hidup. Jika kita sudah terjebak dalam kondisi ini, kita harus segera berhenti menjalani hidup dengan cara seperti ini. Mengapa harus berhenti? Ternyata produktivitas toksik itu ...

1. Produktivitas kita hanya bisa dalam waktu pendek (hitungan bulan atau minggu). Banyak yang ingin dikerjakan, tetapi tenaga dan waktu terbatas. Ini tidak akan bertahan lama.
2. Kebanyakan hanya bersemangat pas di awal sampai tengah. Semangat mengawali, tetapi tidak menyelesaikan. Banyak yang ingin dikerjakan, tetapi tidak ada yang tuntas diselesaikan.
3. Kita hanya akan bisa menghargai diri ketika kita merasa produktif. Akan ada kecenderungan lebih mudah menganggap diri sendiri tidak berguna.
4. Kita akan merasa capek. Kalau capeknya sudah bertumpuk-tumpuk, ya akan kolaps. Ibaratnya bisa berujung "komplikasi", kehilangan semangat hidup.
5. Ternyata tidak bisa menghasilkan banyak hal.
6. Jika tidak menghasilkan sesuatu, kita akan "sekarat". Gimana tidak sekarat kalau kita mau bekerja, tetapi kita kecapekan. Sementara kita membenci diri sendiri ketika tidak bisa bekerja. Susah 'kan?
7. Kita mengalami stres, bahkan insecure, ketika melihat orang lain sibuk. Kita menjadi tidak percaya diri ketika orang lain sibuk atau berprestasi.
8. Kita akan kehilangan orang-orang terdekat kita. Mereka terkena dampaknya. Kita menjauhi relasi, menolak bahkan memutuskan relasi demi pekerjaan terselesaikan dan kita "seolah" menang dan bangga.

Mengerikan sekaligus mematikan. Produktivitas toksik menjadi penyakit modern kekinian. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan pakai obat generik atau obat herbal, melainkan obat kebiasaan dan mind set yang benar dalam bekerja. Kalau ingin sembuh dari penyakit satu ini, bisa pakai cara ini:

1. Menyadari keadaan diri. Kalau lagi senang/sedih, ya jangan ditahan. Luapkan dengan natural supaya terekspresikan dengan benar.
2. Nikmatilah ketika mengerjakan sesuatu. Ketika mengerjakannya, boleh melakukan sedikit refleksi. Kita harus tahu apakah yang kerjakan itu penting atau tidak penting.
3. Punya tujuan yang jelas. Kita harus tahu bahwa kesibukan ini akan membuat kita sampai pada tujuan.
4. Perlu belajar cara menjadi produktif yang benar. Mengembangkan diri dengan produktif dan tidak menjadi toksik.
5. Perlu punya target dalam bekerja, tetapi harus realistis. Pertimbangkan keseimbangan antara bekerja dan aktivitas lainnya.

Apakah ternyata selama ini kita sudah mengidap produktivitas toksik? Mau lanjutkan atau berhenti? Keputusan ada di tangan kita dan dampaknya akan ditanggung juga oleh kita. Baiknya sih kita mulai berani berkata, "Bye, produtivitas toksik!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun