Mohon tunggu...
Santi Titik Lestari
Santi Titik Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Mari menulis!!

Menulis untuk mengawetkan ide dan berbagi ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Seorang Ibu, Antara Bekerja dan Mengurus Anak

1 Oktober 2016   22:31 Diperbarui: 3 Oktober 2016   11:41 4832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Kartini mendengungkan mengenai emansipasi wanita, mulailah wanita Indonesia eksis di berbagai bidang. Tak lagi hanya mengerjakan urusan dapur, tetapi urusan politik pun sudah banyak dicicipi beberapa wanita Indonesia yang memang antusias di bidang ini. Emansipasi memang menjadi kabar gembira bagi wanita Indonesia. Akan tetapi, emansipasi ini sedikit membuat gejolak dalam beberapa bidang kehidupan, misalnya keluarga.

Ibu yang Bekerja

Hampir setiap ibu, yang notabene juga seorang pekerja, pasti mempunyai dilema yang sama. Dilema terkait bekerja dan mengurus anak. Seorang ibu memiliki tanggung jawab mengurus anak-anaknya. Seorang wanita yang bekerja memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Memang hal ini wajar. Yang kadang menjadi tidak wajar adalah ketika seorang ibu hanya mementingkan bekerja dibanding mengurus anak. 

Seorang ibu yang bekerja memang baik, dengan beberapa alasan berikut ini: membantu menyokong perekonomian keluarga, mengembangkan bakat/talenta, menolong/melayani orang lain, bahkan sebagai pengisi waktu luang di sela-sela mengurus anak. Tak menjadi soal seorang ibu bekerja, asalkan tanggung jawab sebagai seorang ibu sudah dipenuhi. 

Kadang-kadang, seorang ibu terpaksa lebih memilih bekerja daripada mengurus anak karena tuntutan ekonomi keluarga, adanya panggilan hidup untuk terus terlibat dalam sebuah perusahaan/yayasan/pelayanan, atau mengembangkan talenta.

Sering kali, seorang ibu yang bekerja harus memiliki mental yang kuat. Kebanyakan orang memiliki keinginan untuk berkomentar, termasuk berkomentar akan urusan anak. Mungkin sesekali terdengar celetukan, "Kerja terus. Kerja terus. Anak tidak diurusi" atau "Anak dititip-titipkan, ibunya asyik cari uang." 

Pada kenyataannya, memang anak pasti dipercayakan ke kakek-nenek, mertua, tempat penitipan anak, bahkan tetangga, dan tak jarang sudah disekolahkan ketika si ibu akan bekerja. Ketika dipercayakan ke orangtua (kakek/nenek) atau mertua, seolah-olah semuanya aman, terkendali, tak perlu biaya mahal, pasti anak akan dirawat dengan baik, padahal ada hal penting yang kita harus cermati, yaitu tentang karakter dan pertumbuhan anak.

Dampak bagi Anak

Tidak ada kakek/nenek yang tidak ingin memanjakan cucunya. Tidak ada kakek/nenek yang ingin mendengar tangisan cucunya, apalagi itu cucu pertama. Apa pun yang diminta cucu pasti akan dipenuhi, yang penting cucu tidak menangis. Kalau sudah menjadi pola, perkembangan otak dan daya memori anak yang makin bertumbuh dan kuat akan membuatnya terlatih untuk menangis, merengek, bahkan menjerit kalau dalam waktu tertentu permintaannya tak dikabulkan. 

Dengan "senjata" merengek, menangis, lalu menjerit, anak pasti akan mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Apa dampak bagi orangtua si anak? Orangtua si anak akan kewalahan menghadapi sikap anaknya yang mulai terlatih untuk menangis dan menjerit saat meminta sesuatu. Bahkan, parahnya, tak peduli itu di rumah atau di tempat umum. Ini hanya salah satu contoh. Belum lagi hal yang lain, seperti kebiasaan makan (ada yang sampai di pinggir jalan makannya), kebiasaan tidur, bermain, dll.. 

Dampak bagi Ibu

Hari sudah mulai petang, ibu pulang ke rumah dengan kondisi badan yang telah penat dan pikiran yang capek karena pekerjaan. Begitu masuk rumah, si anak sudah menyambut dengan rengekan permintaan akan sesuatu hal. Ketika si ibu meminta anaknya sabar, si anak langsung menangis dan menjerit. Si ibu menasihati, si anak makin keras berteriak. 

Emosi ibu bisa bergejolak dan tak menutup kemungkinan akan menjadi marah. Siapa yang akan menjadi korban? Ibu dan anak. Dalam kasus ini, tak jarang ibu selalu menyalahkan dirinya sendiri, "Harusnya aku di rumah mengurus kamu, Nak. Ibu sayang kamu." Selain itu, bisa juga mengasihani diri sendiri, "Aku kerja bukan untuk diriku sendiri, tetapi anakku yang aku korbankan. Maaf, Nak. Kamu jadi seperti ini karena kesalahanku."

Bagaimana Mengatasi Bekerja vs Urus Anak?

Bagaimana menyikapi ini semua? Bukan hal yang mudah untuk memberi tahu atau menasihati kakek/nenek untuk tidak terlalu memanjakan cucu dengan memenuhi semua permintaannya. Kebudayaan Jawa (apalagi) yang sudah sangat melekat dalam diri orang Jawa adalah rasa pekewuh dalam menasihati/mendidik orang yang lebih tua. Takut diberi label "sok tahu," "kurang ajar sama orangtua," atau keminter. Lalu, bagaimana? Bekerja vs urus anak memang menjadi dilema bagi para ibu, yang sekaligus harus bekerja. 

Apakah tidak sepercik harapan untuk kebaikan kondisi semacam ini? Menurut saya, masih ada solusi. Solusinya adalah komunikasi. Komunikasikan harapan kita sebagai orangtua si anak kepada orang-orang yang mengurus anak kita selama kita bekerja. Mintalah untuk mereka bersikap sebagai "orangtua" sekaligus pendidik. Komunikasikan bahwa anak-anak memiliki kemampuan mengingat yang kuat, kreatif, mudah meniru, dan cenderung aktif-agresif sehingga orang-orang yang mengurus anak kita bisa memberi teladan yang benar. Bukan malah hanya ingin menyenangkan anak saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun