Hari sudah mulai petang, ibu pulang ke rumah dengan kondisi badan yang telah penat dan pikiran yang capek karena pekerjaan. Begitu masuk rumah, si anak sudah menyambut dengan rengekan permintaan akan sesuatu hal. Ketika si ibu meminta anaknya sabar, si anak langsung menangis dan menjerit. Si ibu menasihati, si anak makin keras berteriak.Â
Emosi ibu bisa bergejolak dan tak menutup kemungkinan akan menjadi marah. Siapa yang akan menjadi korban? Ibu dan anak. Dalam kasus ini, tak jarang ibu selalu menyalahkan dirinya sendiri, "Harusnya aku di rumah mengurus kamu, Nak. Ibu sayang kamu." Selain itu, bisa juga mengasihani diri sendiri, "Aku kerja bukan untuk diriku sendiri, tetapi anakku yang aku korbankan. Maaf, Nak. Kamu jadi seperti ini karena kesalahanku."
Bagaimana Mengatasi Bekerja vs Urus Anak?
Bagaimana menyikapi ini semua? Bukan hal yang mudah untuk memberi tahu atau menasihati kakek/nenek untuk tidak terlalu memanjakan cucu dengan memenuhi semua permintaannya. Kebudayaan Jawa (apalagi) yang sudah sangat melekat dalam diri orang Jawa adalah rasa pekewuh dalam menasihati/mendidik orang yang lebih tua. Takut diberi label "sok tahu," "kurang ajar sama orangtua," atau keminter. Lalu, bagaimana? Bekerja vs urus anak memang menjadi dilema bagi para ibu, yang sekaligus harus bekerja.Â
Apakah tidak sepercik harapan untuk kebaikan kondisi semacam ini? Menurut saya, masih ada solusi. Solusinya adalah komunikasi. Komunikasikan harapan kita sebagai orangtua si anak kepada orang-orang yang mengurus anak kita selama kita bekerja. Mintalah untuk mereka bersikap sebagai "orangtua" sekaligus pendidik. Komunikasikan bahwa anak-anak memiliki kemampuan mengingat yang kuat, kreatif, mudah meniru, dan cenderung aktif-agresif sehingga orang-orang yang mengurus anak kita bisa memberi teladan yang benar. Bukan malah hanya ingin menyenangkan anak saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H