Sore itu di ruang tamu rumah kos ku, Bintang datang menemui ku.
"De, aku tidak usah datang ya kalau malam Minggu, enggak usah pake acara apel segala"
"Lho..kenapa? Kan kita pacaran, kapan dong ketemunya?"
"Aku datang setiap malam Jumat aja, sekalian mengaji, mendoakan ibu bapakmu yang pergi haji.
Hah....mataku melotot, aku tercekat tak bisa bicara, sambil ngedumel dalam hati, ' apa-apan nih si Bintang, pacaran kok malah diajakin pengajian'.
Bintang itu gebetan ku, baru sebulan kami jadian. Bintang termasuk anak pandai, alim pula, makanya banyak cewek yang ngejar-ngejar dia, termasuk aku. Perawakannya tinggi atletis, kulitnya agak gelap, tak nampak bening seperti bintang muda Korea, rambutnya ikal, hidungnya bangir, untuk ukuran orang Indonesia. Aku beruntung si Bintang mau melirik ku, kata teman-teman sih aku juga cantik, pintar pula, tambahan lagi enerjik dan pintar bergaul katanya.
Dan malam Jumat pun tiba, Bintang bener-bener menepati janjinya, sore sebelum maghrib. Bintang jadi Imam sholat maghrib, lalu kami makan malam dengan lauk pauk yang ku beli dari warteg. Setelah itu kami mengaji hingga beduk isya terdengar. Setelah sholat isya, Bintang pun pamit pulang. Asli enggak ada peluk-pelukan apalagi cium mesra, paling dekat aku bisa menyentuhnya ketika dia pamitan, lalu kami bersalaman.
"Kak, kamu sayang enggak sih sama aku?" Ragu ku tanyakan hal ini pada Bintang.
Sambil senyum bintang menjawab " sayang dong...makanya kita pacaran", senyum Bintang saat itu terasa membawaku jauh menuju pelangi cinta di hatiku.
Aduh...pusing kepalaku, tiga bulan pacaran cuma dikasih senyum doang, padahal kami sudah kuliah lho, sudah besar, malah beberapa teman-temanku sudah menikah sambil kuliah juga. Kali ini aku bertekad mau protes sama si Bintang,
"Tapi kok Bintang enggak pernah peluk atau cium Ade ? Memangnya Bintang jijik ya? kalau didiemin begitu aku kok merasa kayak roti bulukan"
Bintang terbengong-bengong, menjawab gelagapan " lho kok kenapa jadi panjang begini! Aku kira kamu sudah setuju dulu sejak awal kita pacaran, bahwa kita hanya menjaga hati kita satu sama lain, aku mau menjaga kamu hingga pernikahan kita. Apakah Ade sudah mau menikah? Kalau Ade mau, aku siap menikahimu!
Bagaikan petir disiang bolong, diajakin nikah sama si Bintang. Aku berpikir dalam hatiku, asyik juga kali ya menikah sama Bintang, bisa peluk-peluk mesra, membayangkan tubuh tegap Bintang mendekapku. Membayangkan aku menggendong, memandikan bayi mungil kami, yang mukanya perpaduan antara aku sama Bintang, ke bayang cantik dan gantengnya anak-anak kami. Â Aku yakin Bintang bisa jadi suami hebat buatku, bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga kami. Membayangkan kebaikan hati Bintang yang mau bergantian denganku mencucikan popok si kecil, membersihkan rumah kontrakan kami, memasak.Tapi dari mana uang untuk bayar kontrakan, membeli susu, membeli lipstik ku, masa makan mau di warteg terus?.
Semua bayangan kehidupan yang serba kekurangan berkelebat di otak ku. Aku berada di antara tiga pilihan yang memberatkan, hidup bersama Bintang dengan serba kekurangan, terus berpacaran dengan gaya nya Bintang atau berpisah dengan Bintang?
Setelah mencoba menjalaninya selama satu tahun, akhirnya aku memutuskan berpisah dengan Bintang. Aku tak sanggup menahan hasrat ku terhadap keinginan ku untuk diperlakukan sedikit romantis oleh kekasihku, tanpa menyinggung keyakinan Bintang dengan gaya pacarannya. Aku pun tak sanggup menerima keindahan dan kenikmatan yang diberkati Tuhan dalam bayangan kemelaratan materi.
Sekarang, di kamar ku yang luas, sejuk dan harum beralaskan karpet tebal dan halus yang ku beli ketika berlibur di Turki tahun lalu, aku termangu sendiri, memikirkan Bintang. Aku tak pernah lagi mengaji, tak pernah ada yang mengimami sholat ku.
Salam Rindu dari Semak Belukar Afrika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H