Sebagaimana diberitakan, pelatih timnas Indonesia Shin Tae-yong membuat pernyataan mengejutkan dengan memberikan pernyataan melalui media sosial pribadinya beberapa waktu lalu dimana ia akan meletakkan jabatannya apabila Mochamad Iriawan mundur sebagai Ketua Umum PSSI.
Pernyataan sontak membuat seluruh kalangan pecinta sepakbola tanah air kalang kabut mengingat peran krusial pelatih Korea 52 tahun tersebut terhadap perkembangan timnas Indonesia.
Seperti Anda-anda ketahui bahwa desakan mundur Mochamad Iriawan mundur sebagai Ketua Umum PSSI merupakan buntut tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan (data terkini) korban 132 orang meninggal, 596 luka ringan, dan 23 luka berat. Mochamad Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule dinilai wajib bertanggungjawab atas terjadinya tragedi maut itu dikarenakan gagal sebagai Ketum dalam mengelola Liga 1.
Menanggapi ancaman mundur STY sebagai pelatih Timnas, lantas bagaimana kita bersikap?
Tentu banyak pihak tak terkecuali Penulis menyayangkan apa yang telah dikemukakan STY. Apakah ancaman mundur itu sebagai bentuk dukungan kepada Iwan Bule? Penulis pribadi menilai apa yang STY utarakan lebih kepada bentuk kepedulian terhadap sepakbola tanah air.
Toh jika diamati dengan cermat, pernyataan STY mencerminkan bahwa ia paham bahwa dalam memajukan sepakbola merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dimana masing-masing punya peran dan tanggungjawab. Layaknya capaian prestasi yang timnas raih itu pun berkat usaha bersama-sama bukan hanya di lapangan melainkan pula di luar lapangan.Â
Sejatinya tragedi Kanjuruhan pun demikian, dimana seharusnya setiap elemen yang mencintai sepakbola tanah air berupaya yang terbaik untuk menciptakan kompetisi yang profesional dan mencegah tragedi pilu serupa dikemudian hari.
Semua tentu sedih, kesal, marah, emosi campur aduk dengan apa yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan, akan tetapi apakah semua itu menjadi pembenaran untuk mencari siapa kambing hitam dan pantas di kambing hitamkan?
Bahwa tragedi Kanjuruhan cerminan bobroknya tata kelola Liga 1, boleh jadi demikian adanya. Namun kebobrokan itu bukan layaknya Anda jatuh dari tangga dan kemudian patah kaki, melainkan luka yang terus dibiarkan lama dan menjadi infeksi hingga berakhir amputasi.
Seperti Penulis katakan sebelumnya, bahwa tragedi Kanjuruhan layaknya ancaman bom dimana semua orang acuh oleh sebab yang lain, kemudian bom itu meledak dan semua saling tunjuk menyalahkan. Pertanyaannya bagaimana mau maju sepakbola tanah air kalau model dan mental pribadinya seperti ini?
Toh jelas bahwa tragedi Kanjuruhan adalah musibah bersama, sebuah musibah yang mustinya ditindaklanjuti dengan interopeksi dan tekad kuat untuk membenahi sepakbola nasional, apakah itu level kompetisi dan timnas. Tragedi Kanjuruhan adalah momentum untuk mengubah pola pikir kita untuk lebih positif, berkembang, optimis bahwa Indonesia mampu memajukan persepakbolaannya ke jenjang yang lebih baik.
Jadi sudahilah polemik pasca tragedi Kanjuruhan ini, tak elok kiranya disaat tanah korban meninggal masih basah dan justru Anda-anda yang masih hidup saling adu dan menghabiskan waktu dengan percuma. Jika Anda memang cinta sepakbola tanah air maka sudah saatnya Anda berubah.
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H