Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dinamika Ber-Kompasiana, Hanya Kers yang Tahu

27 Desember 2021   07:25 Diperbarui: 27 Desember 2021   08:28 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Menulis (Kompas)

Ada kalimat mengatakan, "bukan Kompasiana namanya kalau enggak rame". Ya seperti itulah kiranya gambaran besar dari blog keroyokan yang belum lama ini merayakan 13 tahun eksistensinya.

Suara-suara kegundahan, kegelisahan, kesal, hingga marah para Kers turut mewarnai segudang artikel faktual yang tayang setiap harinya. Namun jangan salah, suara-suara sumbang itu bukan berarti Kers benci terhadap Kompasiana melainkan saking begitu cintanya mereka kepada platform ini. Kompasiana ibarat sebuah jebakan dimana bagi siapa yang terjerumus kedalamnya maka ia akan terikat dan tidak ingin beralih. 

Kalau diumpamakan sebuah lagu maka Kompasiana dan Kers layaknya lirik lagu "Antara Benci dan Rindu" oleh Ratih Purwasih, benci, benci, benci, tapi rindu jua. Dan percaya tidak percaya, sudah banyak korbannya. Apa perlu Penulis buatkan listnya? Hahaha.

Hal menarik lainnya ketika suara-suara sumbang timbul di Kompasiana ialah suara-suara tersebut menjadi layaknya sebuah sinetron yang berapa episode tayang. Kisruh Pilpres, kisruh koruptor pajak, kisruh asmara, kisruh undangan makan siang di Istana, kisruh K-Rewards dan jumlah viewers, kisruh verifikasi Biru dan Hijau, kisruh Artikel Utama dan Pilihan, dan sebagainya. Segala sesuatu di Kompasiana memungkinkan menjadi ramai pokoknya, walau Kers nantinya terbagi oleh masing-masing kubu namun pada akhirnya akan kembali normal sedia kala bak ombak di lautan.

Gambaran inilah yang terjadi di Kompasiana dan pembeda karena tidak ada platform lain yang mengalami hal serupa. Kali-kali saja ada suara sumbang di platform lain, paling dicekal miminnya. Betul tidak?

Di lain sisi, dinamika yang terjadi di Kompasiana ini juga menjadi wadah para Kers untuk menyuarakan terhadap apa yang terjadi di dalam K. Walau teknologi memungkinkan adanya "e-mail" kepada pengelola Kompasiana, akan tetapi dengan hadirnya artikel kegundahan tersebut sekiranya Kers bukan hanya mengaktualisasi dirinya agar suaranya sampai terdengar tetapi turut serta mengajak Kers lain untuk peduli terhadap apa yang menjadi concern-nya. Oh ya, pesan Penulis jangan japri melalui WA karena pengelola K masing-masing punya kesibukan.

Langkah ini mau tidak mau dilakukan karena memang sejatinya tidak ada wadah lain untuk memediasi Kompasiana dan jutaan Kers. Kalau-kalaupun sampai nantinya ada, pertanyaannya apakah hall di gedung Palmerah cukup menampung para Kers? Siapa-siapa saja Kers yang hadir dan diundang? Paling yang itu-itu saja nantinya, alhasil malah muncul kisruh lagi dengan judul "dia lagi, dia lagi".

Lantas apa tujuan Penulis dari artikel ini? Sejatinya concern Penulis lebih kepada menceritakan dinamika apa yang terjadi di K. Kegundahan, suara sumbang, atau apalah itu namanya menjadi warna-warni di Kompasiana. Dan warna-warni itu kian beragam karena dengan semakin banyak Kers baru (yang sebelumnya tidak bersuara kemudian bersuara) mengemukakan isi hatinya maka itu menandakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di dalam K.

Tinggal pertanyaannya, pengelola K mau tidak mereka mendengar dan sadar tidak bahwa terjadi sesuatu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun