hukuman mati terhadap terdakwa dugaan korupsi pada PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) Heru Hidayat.
Sebagaimana dikutip dari KompasTV. Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntutJaksa berpendapat Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera itu terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp22,7 triliun.
Adapun alasan penuntutan hukuman mati itu karena Heru telah terbukti melakukan korupsi yang berulang dengan nilai kerugian negara yang fantastis.
Mengacu pada konteks rencana sanksi hukuman mati bagi koruptor kelas kakap ini ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan mengomentari tuntutan hukuman mati tersebut bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku kasus korupsi berskala besar.
Ia mengungkapkan bahwa ia berkata, JPU sah-sah saja melayangkan tuntutan mati terhadap Heru. Arteria berharap, langkah itu bisa menjadi sebuah inovasi dalam penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia dan majelis hakim bisa memberikan pertimbangan seadil-adilnya.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid mengkritisi wacana Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan memberikan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia. Hal tersebut dianggap tak efektif untuk memberi efek jera.
Ia menuturkan bahwa efektivitas penegakan hukum terhadap suatu perkara hanya dapat dilakukan melalui kepastian hukum. Ia menjelaskan bahwa negara dengan tingkat korupsi rendah seperti Selandia Baru, Denmark dan Finlandia tak memberlakukan hukuman mati.
Hal senada disampaikan oleh Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman yang mengatakan negara-negara yang bersih dari korupsi justru tidak menerapkan hukuman mati pada tindak pidana korupsi.
Zaenur mengatakan, terlepas dari pro dan kontra tuntutan tersebut, mestinya tuntutan dan vonis pada koruptor harus bersifat memiskinkan. Salah satu caranya adalah dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Ya jika membicarakan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi penyakit kronis di bangsa ini. Cakupan skala pelaku tak hanya melibatkan Kepala Daerah maupun pejabat pembuat keputusan, melainkan turut menyertakan keterlibatan kerabat hingga anggota keluarga.