Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polemik Pengadaan Laptop, Mengapa Buatan Lokal tetapi Lebih Mahal?

12 Agustus 2021   08:36 Diperbarui: 12 Agustus 2021   08:47 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiranya dua pekan yang lalu sebuah WA dari sosok yang Penulis tidak kenal menautkan pemberitaan mengenai rencana pengadaan laptop buatan dalam negeri untuk sekolah yang menjadi polemik. Penulis akhirnya mencoba menelisik mengenai informasi ini, apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Singkat cerita, dari menghimpun informasi dari bertanya ke saudara yang berprofesi sebagai guru (prihal proses permohonan sarana kinerja bagi guru) dan membaca beragam berita online mengenainya, akhirnya Penulis membuahkan artikel guna membahasnya.

Satu hal yang menarik dan belum Penulis angkat ialah mengenai spesifikasi laptop yang notabene merupakan wujud dari Chromebook.

Sebelum membahas lebih lanjut, apa itu Chromebook? Dari namanya sendiri Anda tentu mengenal Chrome yaitu aplikasi browser kenamaan milik Google. Dengan kata lain laptop Chromebook adalah laptop dengan menggunakan Chrome OS dengan spesifikasi minimalis tak layaknya laptop berbasis Windows maupun MacOS (Apple) yang dapat ditenagai dengan spesifikasi mentereng. Chromebook mulai terdengar dan (tumbuh) dipergunakan belakangan ini baik dikarenakan fungsinya maupun disokong oleh situasi pandemi Covid-19.

Laptop Chromebook tak ayal sejatinya Anda hanya menggunakannya untuk berselancar (browsing) di aplikasi Chrome, laptop ini murah (4 s d 6 jutaan), ringan, daya baterai lama, dan aman karena tidak rawan virus komputer pada umumnya.

Diantara kelebihan Chromebook, kekurangannya antara lain yaitu laptop ini wajib terkoneksi dengan internet bila ingin digunakan, tidak bisa untuk aktivitas gaming (nge-gim), tidak bisa untuk edit foto maupun video, serta kapasitas sangat kecil (semua serba cloud storage).

Dengan gambaran singkat mengenai Chromebook diatas maka paling tidak kita bisa tahu bahwa laptop jenis ini cocok bagi pelajar, namun lingkupnya mungkin hanya bagi mereka yang tinggal di lokasi dimana infrastruktur jaringan internetnya memadai.

Nah menurut kabar ada 6 vendor dalam negeri yang dikabarkan tertarik membuat Chromebook ini. Siapa, Anda cari tahu sendirilah. Rencananya keenam-nya ini ditunjuk sebagai pihak yang akan menyediakan pengadaan laptop tersebut untuk sekolah.

Polemik tidak sampai disitu karena tak sedikit orang-orang kemudian membandingkan mengapa laptop Chromebook yang katanya buatan dalam negeri tetapi kenapa harganya lebih mahal ketimbang Chromebook import?

Penulis disini hanya sebagai orang awam, bukan pula pakar IT, tidak berusaha membela kubu tertentu, ataupun ada kepentingan didalamnya (semisal kebagian proyek pengadaan gitu) akan mencoba menjelaskan sedikit mengenainya.

Kenapa sih Chromebook buatan lokal lebih mahal? Penulis katakan hal tersebut wajar, karena apa? Karena industri dalam negeri tidak memiliki kapasitas sumber daya prihal teknologi yang dimaksud.

Benar orang lain bisa mengatakan, loh katanya kandungan lokalnya sudah mencapai 40 persen. Maka Penulis ajak pembaca untuk berhitung secara Matematika, 100 - 40 = 60.

Dalam kaitannya bukannya berarti masih ada 60 persen kandungan luar dalam laptop itu. Sebagai contoh kecil saja operating system-nya bukan buatan Indonesia punya, yang mengartikan kita beli licence-nya.

Mau bukti? Coba Anda bandingkan, ketika Anda beli laptop bodong tanpa OS dengan laptop dengan OS maka (harga) mahalan yang mana?

Itu baru bicara OS. Coba Anda telaah lebih dalam lagi pernak-pernik dalam laptopnya. Processor, RAM (memory), harddisk, batere, LCD, casing, dan sebagainya. Pertanyaannya cuma satu, apa dari itu semua negeri ini sudah mampu membuatnya? Ada gitu produsen processor, produsen LCD, produsen harddisk asal Indonesia? Kalau ada, tolong ajak-ajak Penulis berkunjung kesana.

Dengan kata lain dari semua perangkat itu belum Indonesia kuasai. Yang Indonesia baru bisa ialah merakit perangkat-perangkat itu hingga menjadi laptop dan kemudian mengatasnamakannya sebagai produk lokal.

Lalu orang lain kembali bilang, loh produsen luar negeri bukannya ada yang serupa dengan produsen dalam negeri. Dalam pengertian toh ada pula yang merakit juga, lalu kenapa mereka masih lebih murah?

Penulis bilang betul memang, tetapi Anda lihat dalam kapasitasnya bagaimana dahulu. Anda mau ngomong merk-merk semisal, ASUS, Acer, Samsung, HP, dan sebagainya, coba dilihat berapa besar pasar pangsa mereka? lihat berapa besar kapabilitas (aset, R&D, SDM, dan sebagainya) mereka? Dunia bos. Sedangkan laptop Chromebook buatan lokal lingkup targetnya baru pengadaan untuk sekolah di Indonesia. Dan kemudian lebih mahal lagi, lantas apa Anda yakin mau beli?

Kalau ada yang balik bertanya, kalau mahal kenapa enggak pilih laptop impor saja biar lebih hemat anggaran? Ya kan kembali lagi sebagaimana dijelaskan bahwa pengadaan laptop buatan lokal untuk sekolah ini didorong oleh masih rendahnya belanja produk TIK buatan lokal dibandingkan dengan produk impor. Terus kalau nanti semua impor, kelak dibilang tidak cinta produk dalam negeri lagi. Kan serba salah.

Kemudian lingkup polemik jangan dicampuradukkan dengan bagaimana cara berpikir Anda sebagai konsumen. Namanya konsumen tentu akan memilih laptop dengan harga semurah-murahnya tetapi dengan kemampuan setinggi-tingginya, benar tidak?

Sedangkan polemik pengadaan laptop buatan lokal ini dalam lingkup rencana pemerintah untuk memenuhi perangkat teknologi untuk sekolah. Tentu acuan mereka lebih kompleks karena di satu sisi dipilihnya 6 vendor lokal maka otomatis membantu produsen dalam negeri untuk berkembang. 

Apa yang terpenting ada transparansi didalamnya, jangan alih-alih pengadaan cuma sebagai cara untuk dapat komisi atau uang lebih dari vendor. Dan yang ribut-ribut karena tidak kebagian saja. Begini enaknya bergaul dengan beragam macam individu dengan latar belakang berbeda.

Menyangkut polemik laptop dalam negeri ini Penulis akui memang jauh lebih banyak intrik politiknya ketimbang pembahasan apa maksud tujuan serta manfaat pengadaan laptop ini. Masyarakat kita terlampau mudah terbawa arus informasi tanpa menelaah lebih lanjut. Maka dari itu pemberitaan yang masuk ada baiknya diolah lebih dahulu.

Jangan mudah percaya juga dengan apa kata influencer, belum tentu dari mereka wawasannya luas. Jangan cuma dilandasi harga laptop di marketplace lantas dengan mudah menyimpulkan. Betul laptop impor lebih murah, tapi pertanyaannya kita (Indonesia) bisa tidak membuatnya 80 s.d 90 persen produk lokal? 

Kemudian lihat seberapa besar lingkup market produsen, sudah punya nama besar belum? Kalau sebatas lingkup ekspor, banyak kok produsen tanah air yang melakukannya. Akan tetapi apa seluruh dunia tahu atau mengenalnya serta menggunakannya?

Sedikit informasi. Satu hal dalam lingkup ekspor yang namanya produsen apalagi belum punya nama pastinya akan memilih target pasar atau wilayah yang produknya berpotensi laku terlebih dahulu. Tetapi ketika produsen berkembang dan kemudian punya nama besar, itupun tidak bisa menjamin harga produknya jadi lebih murah karena balik lagi kembali kebijakan mereka.

Secara kesimpulan, gambaran polemik ini kan jadi pekerjaan rumah Indonesia nanti kedepannya. Mau sampai kapan kita dilabeli negara konsumerisme terbesar? Kapan kita mau maju dengan memproduksi hasil karya atau bisa dikatakan benar-benar produk dalam negeri? Sampai kapan kita cuma bisa bangga gunakan produk impor? Yang pekerjaan rumah terbesar tentunya ialah kita sebagai warga Indonesia turut mendukungnya tidak, dengan bangga menggunakan produk dalam negeri.

Jikalau ada politisi ribut mengenai ini, sebaiknya coba tanyakan apa kontribusinya agar Indonesia bisa buat produk teknologi yang mengharumkan nama bangsa. Lebih dari itu, paling sekadar drama sikut-sikutan rebut kekuasaan.

Penulis harap artikel ini jadi renungan bagi siapapun yang kelak memimpin dan meneruskan cita-cita bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar dan bukan sekadar kepingin bahkan hanya mimpi di siang bolong.

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

___

Artikel terkait : Mengapa Smartphone Premium Mahal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun