Duka hingga kini masih dirasakan oleh keluarga maupun kerabat para penumpang kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ812. Jika mengacu pada UU, hari Jumat (15/1/202) merupakan hari ketujuh atau waktu berakhirnya masa operasi pencarian tim SAR terhadap korban pesawat Sriwijaya. Namun Basarnas mengemukakan bahwa jika diperlukan, operasi pencarian korban dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dapat diperpanjang sesuai kebutuhan pencarian.
Merujuk pada kejadian kecelakaan pesawat terbang memang umum menimbulkan banyak spekulasi akan penyebabnya, salah satunya yaitu harga tiket pesawat yang murah yang dilatarbelakangi perang tarif antar maskapai. Lantas apa benar bahwa harga tiket pesawat yang murah jadi biang keladi kecelakaan transportasi udara?
Sebagaimana kita ketahui pandemi Covid-19 menerjang seluruh penjuru dunia dan mengakibatkan dampak yang begitu hebat dan berdampak pula pada bisnis industri penerbangan. Beberapa negara menerapkan lockdown wilayah dan aturan ketat guna meminimalisir penyebaran Covid-19 sehingga mobilitas manusia pun berkurang tak terkecuali pengguna transportasi udara yang turun secara signifikan.
Alhasil beberapa maskapai penerbangan di penjuru dunia pun meminta bantuan (stimulus) pada pemerintah agar aliran modal atau cash flow mereka dapat terjaga, diantaranya terjadi pada maskapai asal Jerman, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, maupun Indonesia.
Dengan adanya stimulus dari pemerintah maka dapat membantu maskapai sekiranya melalui masa-masa sulit ini bersamaan menemukan solusi agar keuangan mereka kembali sehat.
Secara teori cash flow berjalan maka otomatis operasional maskapai dapat berjalan normal tak terkecuali dalam lingkup maintenance atau pemeliharaan pesawat yang nilainya cukup besar. Bagaimana pun pesawat terbang musti dalam keadaan prima yang merupakan salah satu syarat penting pesawat laik terbang guna melindungi penggunanya.
Lebih lanjut apa saja sih sumber pemasukan bagi maskapai? Sedikitnya ada 3 sumber pemasukan mereka, yaitu tiket penumpang, jasa kargo (barang), dan jasa pemeliharaan (maintenance) pesawat seperti mengisi bahan bakar, mengganti sparepart, pengecatan pesawat, dan sebagainya. Namun untuk jasa pemeliharaan pesawat ini tidak semua maskapai memiliki ataupun menyediakannya. Umum mereka baik maskapai dalam maupun luar negeri menggunakan pihak ketiga untuk melakukannya.
Penulis beri gambaran, pesawat maskapai x destinasi dari Singapura menuju Jakarta. Karena maskapai x tidak memiliki cabang maintenance di Jakarta maka mereka mengontrak jasa pemeliharaan yang tersedia di Indonesia untuk proses maintenance ketika sesampainya pesawat disana. Hal ini juga dilakukan oleh maskapai dari Indonesia yang tidak memiliki divisi maintenance baik di dalam maupun di luar negeri.
Dengan sumber pemasukan yang berkurang kiranya tidak ada maskapai yang sanggup bertahan lama atau seiring waktu beban finansial mereka menumpuk maka maskapai kiranya akan gulung tikar.
Kita bersama tahu perang tarif antar perusahaan maskapai terjadi yang notabene sebagai upaya memikat hati pengguna untuk menggunakan jasanya. Perang tarif ini pun sudah menjadi beban maskapai karena mereka harus menutup biaya operasional. Ditambah lagi dampak pandemi maka otomatis beban keuangan secara keseluruhan semakin bertambah.
Menutup defisit pada jasa kargo pun kiranya berat, mengingat umum sudah sesuai dengan besaran kontrak awal. Dalam artian maskapai dan klien terikat kontrak yang menyebabkan maskapai tidak bisa menaikkan biaya yang ditangguhkan kepada kliennya hingga kontrak diperbaharui.Â