Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Risma Buka Borok Jakarta, Kok Baperan?

7 Januari 2021   12:42 Diperbarui: 7 Januari 2021   12:47 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak diangkat dan mulai menjalankan tugasnya sebagai Menteri Sosial, Tri Rismaharini menyempatkan diri melakukan blusukan ke beberapa titik lokasi di Jakarta.

Pada hari Senin (4/1/2021) lalu, Risma kembali melakukan blusukan di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin. Saat itu Risma bertemu dengan beberapa gelandangan dan mengajak mereka berdialog. Dari dialog tersebut, para gelandangan itu mengaku kepada Risma bahwa mereka tidak punya rumah di Jakarta.

Aksi Risma tersebut kemudian menjadi sorotan publik dan para tokoh turut buka suara mengenainya.

Kembali Penulis sudah sempat mengatakan bahwa masalah kesejahteraan tak hanya terjadi di wilayah terpencil Indonesia, akan tetapi dapat disaksikan pula terjadi di Ibukota. Diantara kemegahan megapolitan Jakarta, tersamar bahwa ada warganya yang hidup tidak layak.

Namun menarik disimak, mengapa aksi blusukan Risma ini menuai kontroversi? Tak sedikit yang baperan dan menanggapi aksi blusukan Risma ini sebagai pencitraan. Apa benar?

Lebih lanjut prihal gelandangan di lokasi Sudirman-Thamrin. Sebagai warga DKI, jika ditanya pernahkah Anda melihat gelandangan disana?

Penulis katakan iya pernah, akan tetapi pemandangan hadirnya gelandangan di lokasi Sudirman-Thamrin bukan suatu yang jamak dilihat. Para gelandangan nampak bermunculan tatkala dibarengi dengan mobilitas banyak warga yang datang dan minimnya pengawasan aparatur di lokasi tersebut, contoh libur akhir pekan dimana mayoritas warga memilih berolahraga disana. Fenomena ini kiranya tidak jauh berbeda dengan fenomena jockey 3 in 1 yang dulu marak.

Kalau ditanya, apakah benar mereka gelandangan? Penulis katakan bisa iya dan tidak. Permasalahannya ialah gelandangan saat ini sudah ibarat sebagai profesi sambilan. Ada individu-individu yang tidak segan menjadi gelandangan demi belas kasih orang yang ditemuinya di jalan. Walau demikian tidak semua gelandangan adalah warga Jakarta, tak jarang dari mereka merupakan warga pendatang yang mencari peruntungan di Ibukota.

Apakah warga yang menjalani gelandangan itu hidup kekurangan? Logis saja, ya jelas kurang. Anda-anda kiranya bisa menghitung sendiri berapa besaran biaya hidup agar dapat bertahan di Jakarta.

Prihal adanya gelandangan di Jakarta kiranya bukan hal baru dan kiranya juga tidak perlu juga cape-cape disanggah toh memang benar adanya. 

Masalah gelandangan di Jakarta ini pelik dikarenakan banyak hal, baik dari kinerja aparatur yang angin-angin, mentalitas, serta tidak adanya solusi konkret untuk menyelesaikannya.

Penulis beri gambaran, oke-lah aparatur semisal rajin melakukan penindakan kepada para gelandangan yang berkeliaran di Jakarta. Mereka ditangkap guna didata dan diberikan pembinaan. Umumnya seperti itu bukan laporannya?

Pertanyaannya, mengapa gelandangan masih tetap berkeliaran?

Tentu dari pertanyaan diatas poin yang tertuju ialah bagaimana proses pembinaan dilaksanakan. Apa benar para gelandangan tersebut dibina? Apakah proses pembinaan tersebut tepat bagi gelandangan? Lantas poin terpenting ialah bagaimana mentalitas individunya? Alangkah sulit kiranya jika proses pembinaan benar dan tepat dilakukan namun mentalitas individunya tidak memadai yang pada akhirnya mereka memilih kembali mengemis.

Pelik permasalahannya karena warga Jakarta umum hidup tidak teratur dan kerap dimanja. Ketidakteraturan serta kemanjaan ini justru berbuah mentalitas individu yang berbuat semaunya, kerap melanggar peraturan, dan tidak memiliki kemampuan untuk merawatnya (contoh fasilitas umum). 

Oleh karena itu Jakarta butuh sosok pemimpin yang mau turun ke bawah melihat langsung kondisi warganya dan mampu mengubah mentalitasnya. Bukan sosok pemimpin yang duduk di kantornya dan hanya anteng menerima laporan. Turun ke lapangan hanya kalau ada undangan warga maupun konten di media sosial.

Kembali kepada Risma, apa salah dengan apa yang ia lakukan?

Tanggungjawab Mensos kan luas mencakup seluruh Indonesia, toh Risma menjabat bukan untuk jangka waktu sehari atau seminggu saja. Dengan kata lain, ada banyak kesempatan Risma untuk blusukan di wilayah yang lain selain Jakarta.

Memang betul bahwa ada tanggungjawab yang lebih besar yang Risma perlu lakukan yaitu membenahi kebobrokan yang terjadi di Kemensos prihal korupsi Bansos saat pandemi. Tetapi bukan berarti hal tersebut melarang Risma untuk blusukan.

Kiranya tidak menjadi masalah kesemua diatas selama Risma mampu mempertanggungjawabkan. Mungkin yang perlu jadi pertanyaan, mengapa Mensos blusukan justru dikecam dikala pejabat-pejabat yang lain memilih tidak melakukannya. Apakah menyelesaikan permasalahan di Indonesia cukup terima laporan?

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun