Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mau Tahu Klaster Covid-19 dari Siapa?

29 September 2020   08:18 Diperbarui: 29 September 2020   08:26 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imbauan protokol kesehatan (TheJakartaPost)

Belakangan ini Penulis harus menemani Ibu untuk berobat di Rumah Sakit wilayah Jakarta Timur. Kami berdua biasa menggunakan layanan ojek daring menuju lokasi.

Ketika dalam perjalanan sesekali Penulis berupaya memancing pembicaraan kepada si driver, selain untuk memecah keheningan juga untuk mengetahui pandangan mereka terhadap situasi pandemi saat ini.

Ya kurang lebih tujuh bulan sudah pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia. Menurut data terbaru per tanggal 28 September 2020 tercatat total 279 ribu kasus Covid-19 di Indonesia, 207 ribu pasien sembuh, dan 10.473 pasien meninggal. 

Merujuk belum melandainya grafik pasien positif harian yang terjadi maka hal ini masih menjadi pertanyaan sampai kapan pandemi Covid-19 akan selesai seutuhnya?

Kembali ke topik pembicaraan antara Penulis dan driver ojol. Bahwasanya si driver mengatakan kalau langkah pemerintah melalui Pemprov DKI Jakarta dan aparat berwajib dengan melakukan operasi yustisi di jalan protokol untuk menindak warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan menurutnya kurang tepat.

Baginya langkah tersebut tidaklah efektif dikarenakan permasalahan ketidakdisiplinan warga mematuhi protokol kesehatan ia nilai justru dimulai dari lingkungan tempat warga tinggal. 

Si driver menggambarkan lokasi ia tinggal yaitu di wilayah Cempaka Warna dimana warga disana kurang kesadarannya terhadap protokol kesehatan baik dari kalangan orang tua hingga anak-anak. Anak-anak dibiarkan bermain tanpa pengawasan dan warga setempat beraktivitas tanpa mengindahkan protokol kesehatan maka kesemua itu beresiko terjadinya penularan Covid-19.

Penularan Covid-19 di lingkungan tempat tinggal warga maka memunculkan resiko terjadinya tingkat penularan yang lebih besar atau menimbulkan klaster baru seperti klaster sekolah, perkantoran, industri, bahkan mungkin (di daerah lain) kalau sampai terjadi klaster Pilkada.

Maka dari itu menurut si driver seharusnya pemerintah turut pula serta mengawasi wilayah lingkungan tempat tinggal warga dengan cara mengerahkan seluruh aparaturnya dan bukan malah meliburkan mereka dengan alasan Work From Home (WFH) karena pandemi. Dengan begitu tingkat penularan dapat ditekan serta mengurangi jumlah pasien positif per-harinya.

Menarik disimak memang dengan apa yang dikemukakan oleh driver. Penulis setuju bahwasanya memang ada benarnya dengan apa yang dikatakannya kalau karut marut pandemi di Indonesia ini khususnya di Jakarta merujuk kepada minimnya kesadaran atau ketidakdisplinan masyarakatnya yang acuh terhadap protokol kesehatan.

Pertanyaannya sederhana, apa susahnya sih cuci tangan, apa susahnya sih mengenakan masker, dan apa susahnya sih tidak berkerumun? Hanya saja ego pribadi disertai minimnya kepedulian sesama menjadikan karakter yang bengal sulit diatur sekalipun imbauan protokol serta ancaman Covid-19 terus menerus diingatkan.

Disisi lain bentuk pengawasan pemerintah yang dinilai kurang inipun perlu dikaji apakah memang betul demikian? 

Bukan bermaksud membela, akan tetapi Penulis kira  dibalik langkah tracing dan screening bahwa pemerintah tidak bisa memonitor 24/7 warganya. Jumlah warga serta wilayah yang begitu luas tentu tidak sebanding dengan jumlah aparatur yang tersedia. Terkecuali langkah antisipasi secara massive diberlakukan semisalkan penetapan jam malam guna mengurangi aktivitas warga sekaligus agar fungsi pengawasan lebih efektif dan efisien.

Pengerahan aparatur sipil dari tingkat Kecamatan, Kelurahan, hingga keikutsertaan RT/RW pun Penulis kira juga tidak bisa diharapkan banyak dikarenakan mayoritas di Jakarta mereka ibarat mati suri atau tidak berfungsi semustinya. 

Bukan rahasia lagi kalau warga Jakarta hidup dengan minim perhatian. Fungsi Kecamatan, Kelurahan, hingga RT/RW bagi warga hanya dibutuhkan sewaktu-waktu untuk pengurusan dokumen semata. Tindak tanduk mereka ke warga mayoritas sangat minim dan kinerjanya pun angin-anginan. Lantas bagaimana lagi ditugaskan untuk mengawasi? Jangan banyak berharap.

Secara kesimpulan dari pembahasan diatas kita sejatinya tahu bahwa Indonesia terspesial DKI Jakarta punya masalah kronis prihal penanganan pandemi Covid-19 yaitu ketidakdisplinan warga disertai kurangnya koordinasi agar bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat baik terhadap protokol kesehatan maupun ancaman Covid-19.

Jangan berharap Covid-19 ini segera selesai kalau kita secara pribadi meremehkannya. Jangan berharap hari esok, kalau ternyata sikap pribadi memungkinkan kita tidak bisa melihat besok. Dan jangan terus menerus menyalahkan kalau ternyata letak permasalahan ada pada diri pribadi. Tingkatkan kepedulian antar sesama dan patuh akan imbauan pemerintah serta jalankan protokol kesehatan sebaik-baiknya.

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun