Semenjak terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mantan CEO Gojek Nadiem Makarim memang tidak lepas dari sorotan. Sosok dibalik tumbuh berkembangnya aplikator Gojek ini kerap kali mendapatkan preseden buruk atas tindak tanduk dan kinerjanya selama belum satu tahun menjabat.
Kedudukan Nadiem yang notabene non partisan atau dari kalangan profesional mengisi jabatan prestisius seperti Mendikbud menurut Penulis terlalu riskan rentan akan goncangan ketimbang mereka yang mewakili partai.
Tentu publik bisa perhatikan ketika aplikator Gojek menyediakan layanan digital guna membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sontak tak sedikit pihak yang menuding Nadiem telah memanfaatkan jabatannya. Angin kencang itu pun reda setelah pihak Gojek maupun Nadiem mengklarifikasi isu tersebut.
Lama berselang nama Nadiem kembali terseret ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan oleh Kemendikbud.
Dikutip dalam laman Kompas, POP yang Kemendikbud luncurkan pada 10 Maret 2020 merupakan program pemberdayaan masyarakat secara masif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Pelaksanaan POP dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, terutama organisasi-organisasi yang memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah.
Dalam cakupannya ormas yang disetujui proposalnya oleh Kemendikbud akan mendapatkan bantuan (yang terbagi menjadi 3 kategori) yang kemudian akan disalurkan dalam dua tahap pada tiap tahun anggaran berdasarkan hasil evaluasi berkala dari Kemendikbud.
Singkat kata POP ini menjadi polemik karena selain alasan tidak jelasnya klasifikasi ormas yang mendapatkan bantuan dana POP dan dugaan kejanggalan dalam proses verifikasinya, anggaran dari POP ini juga dipandang dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang lebih mendesak di bidang pendidikan saat pandemi sekarang ini.
Namun menurut Penulis pribadi keterkaitan yayasan konglomerat dimana disinyalir ikutserta menikmati dana POP ini kuat dugaan mengapa sampai Nadiem babak belur jadi sasaran.
Hal tersebut kiranya terpapar dalam acara diskusi di sebuah stasiun televisi swasta membahas polemik soal POP ini. Diskusi yang sejatinya membahas apa inti permasalahan POP justru seperti distir menjadi konfrontasi elit politik.
Dalam acara itu sosok Nadiem bak seperti dikuliti layaknya seorang pesakitan. Jelang satu tahun kinerjanya dikritik dan dipermalukan, bahkan sampai kepada sosok Jokowi yang memilihnya (Nadiem) tak luput jadi sindiran.