Yang pada kesimpulannya bahwa semua manusia apakah ia baik ataukah buruk merasakan imbas dari musibah ini bersama-sama.
Lantas bagaimana seseorang yang sejatinya lebih paham mengenai ilmu agama bisa berpikiran demikian?
Apabila kita telaah lebih lanjut Allah ta'ala memberikan tiga anugerah kepada pribadi manusia, yaitu akal, hati, dan iman.
Akal yaitu anugerah agar manusia dapat berpikir secara sehat. Hati yaitu anugerah agar manusia dapat mengontrol emosi dalam dirinya. Dan iman yaitu anugerah agar manusia sadar akan dirinya serta mengenal Allah ta'ala sebagai Dzat segala Maha yang telah menciptakannya.
Dalam kaidahnya, baik ketiga anugerah ini yaitu akal, hati, dan iman haruslah seimbang. Salah satu fungsinya tidak bisa digantikan dan tidak bisa dilebih-lebihkan maupun dikurangi.
Sebagai contoh, ketika manusia dalam posisi hilang akal maka manusia tidak bisa mengontrol emosinya dan ia pun dapat lupa akan Allah ta'ala.
Bahkan dalam cakupan manusia yang intelektual tinggi (akal) sekalipun, apabila ia tidak mampu mengontrol emosi dan ia tidak mengenal Allah ta'ala maka ia akan condong menghadirkan bencana.
Dalam kasus narasumber ini, emosinya tidak terkontrol dengan baik karena kebencian merasuk dalam dirinya. Ia percaya bahwa musibah ini berasal dari Allah ta'ala namun akalnya tidak berfungsi dengan baik karena menyatakan musibah pandemi ini merujuk kepada golongan tertentu.
Menanggapi hal ini Penulis berpesan bahwa sebagai umat beragama dalam konteks menerima ilmu maka sebaiknya kita pilih dan pilah terlebih dahulu.
Bukan berarti dengan begitu sebagai individu kita tidak percaya kepada siapapun, melainkan lebih meningkatkan kewaspadaan diri terhadap fragmentasi-fragmentasi yang dapat mencederai nilai-nilai sebagai manusia.
Begitupun kepada individu-individu yang memiliki ilmu agama lebih dalam, janganlah menjadi pribadi yang berlebih-lebihan. Sejatinya ilmu itu Allah ta'ala turunkan untuk mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dan bukan untuk merusaknya.