BNI Maria Pauline Lumowa berakhir.
Setelah 17 tahun menjadi buron, pada akhirnya pelarian tersangka kasus pembobolan BankSekitar Kamis siang (9/7/2020), MPL tiba di Bandara Soekarno-Hatta ia diekstradisi dari negara Serbia. MPL merupakan salah satu dari beberapa tersangka (sudah diproses pidana) atas pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.
Sontak penangkapan MPL mencuri perhatian publik. Bukan saja karena jangka waktu lamanya ia kabur melarikan diri, melainkan nominal besaran penipuan yang ia dan kelompoknya lakukan yaitu sebesar 1.7 triliun Rupiah.
Tertangkapnya MPL bisa dikatakan sebuah prestasi dan patut diapresiasi mengingat negara Serbia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Satu torehan sejarah yang mungkin kedepannya dapat lebih meningkatkan kerjasama diantara kedua negara.
Namun demikian penangkapan MPL tidak luput dari kekurangan karena memperlihatkan bahwa begitu rentannya proses hukum di Indonesia dimana kasus-kasus tersangka melarikan diri ke luar negeri bukan sekali dua kali terjadi. Sebut saja kasus buron Djoko Tjandra, Eddy Tansil, Harun Masiku, Anton Tantular, Hendro Wiyanto, dan lain sebagainya.
Pemilihan luar negeri sebagai destinasi untuk melarikan diri bukanlah hal baru dalam dunia kriminal. Para tersangka memilih negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara bersangkutan pada kaitannya karena mereka dapat hidup bebas dan tidak dapat diproses hukum di negara pelarian.
Memang kita bisa saja berasumsi toh tinggal negara membuat perjanjian ekstradisi. Akan tetapi hal tersebut tidaklah mudah dan kerap kali sulit terealisasi disebabkan beberapa faktor, seperti bagaimana hubungan diplomatik kedua negara, bagaimana status tersangka yang melarikan diri apakah ia memiliki nilai tawar menawar bagi negara pelarian, hingga dalih melindungi warga negara sekalipun tersangka merupakan seorang kriminal.
Bagi Penulis pribadi, penangkapan MPL ini secara tidak langsung menaikkan pamor Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM serta membuktikan bahwa penilaian publik kepada dirinya adalah salah alamat.
Sebagaimana kita ketahui bersama pada saat isu reshuffle kabinet sebelumnya, Yasonna Laoly menjadi salah satu menteri yang dinilai publik bekinerja buruk dan layak diganti.
Keputusannya memberikan asimilasi kepada sejumlah narapidana imbas dari pandemi Corona yang terjadi di Indonesia dipandang sebagai langkah teledor dan mengundang kritik publik.
Ya memang saat Yasonna Laoly terpilih dan menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM tidak lepas dari sorotan publik. Sebut saja urusan Revisi UU KPK dan tidak ada kemajuan yang signifikan dari penegakan hukum di Indonesia.
Hukum masih condong tumpul keatas namun tajam ke bawah. Kinerja aparatur penegak hukum kerap dipertanyakan antara profesionalitas dan konflik kepentingan. Lembaga permasyarakatan tidak berfungsi selayaknya dan kerap dipersepsikan sebagai taman hiburan bagi mereka narapidana kalangan berdasi. Kemudian permasalahan klasik overkapasitas lapas yang seolah dibiarkan berlanjut.
Semoga saja penangkapan MPL ini tidak menjadi euforia sesaat. Bahwasanya pekerjaan rumah untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia masihlah sangat panjang dan berat.
Dan semoga dibalik tertangkapnya MPL ini bukan sebagai upaya pengalihan isu dari pemberitaan status buron tersangka korupsi Djoko Tjandra berikut polemik e-KTP beberapa waktu lalu.
Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H