Problematika akan kurang disiplin berlalu lintasnya masyarakat memang bukan hal baru di negeri +62 ini. Indikasi pembiaran di mana aparat berwajib bertugas angin-anginan berimbas kepada minimnya "respect" masyarakat kepada mereka yang sepatutnya bertugas menjaga lalu lintas.
Alhasil membuat masyarakat kian tidak patuh dan hanya takut bilamana terjadi razia kendaraan bermotor saja. Tak ayal minimnya respect masyarakat ini kerap kali pula menimbulkan perlawanan dari individu yang tidak menerima dirinya ditilang walau jelas-jelas melanggar peraturan lalu lintas.
Tentu yang menjadi pertanyaan sekarang ini akan seperti apa nasib keberadaan E-TLE ini?
Apakah penerapan E-TLE dapat efektif tidak hanya sekadar penindakan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar, tetapi secara bersamaan pula mampu mengayomi masyarakat untuk taat berlalu lintas?
Secara pribadi Penulis tidak menolak hadirnya terobosan revolusioner ini, akan tetapi Penulis memberikan catatan mau sampai berapa banyak E-TLE akan dipasang bilamana pengemudi kendaraan bermotor secara mental masih merasa Raja Jalanan?
Di sini kita bisa lihat dengan seksama bahwa penindakan perlu juga dibarengi dengan edukasi agar bagaimana masyarakat patuh dalam berlalu lintas.Â
Bilamana langkah penindakan sudah maksimal namun jenis pelanggaran masih saja terjadi, maka yang menjadi pertanyaan utama ialah bagaimana cara mengedukasi masyarakat dengan baik?Â
Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H