"Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd"
Artinya:
"Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar, Allah maha besar, dan segala puji bagi Allah".
Sekilas kalimat diatas merupakan bunyi bacaan dan arti dari takbir. Ya sebagaimana  pada saat malam terakhir di bulan Ramadhan (bacaan yang benar : Romadhon) tiba, umat Muslim di Indonesia melafazkan takbir bukan sebatas bentuk dari rasa bersyukur atas rahmat dan hidayah yang Allah ta'ala berikan.
Melainkan melafazkan takbir yaitu bertujuan agar seorang Muslim lebih mengingat akan betapa besar kuasa Allah ta'ala, menjauhkan dirinya sifat takabbur (besar diri atau sombong), dan dapat melebur dosa-dosa.
Melafazkan takbir di malam akhir bulan Ramadhan sendiri merupakan sebuah anjuran yang merujuk pada Al Qur'an dalam Surah Al Baqarah ayat 185 dimana dikutip :
"... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
Melafazkan takbir di malam terakhir di bulan Ramadhan memang sudah menjadi sebuah "tradisi" bagi kaum Muslim di Indonesia. Baik kaum tua dan muda mudi ada yang memilih Masjid sebagai tempat sarana mereka berkumpul menglafazkan takbir dan ada pula yang memilih berjalan kaki mengelilingi kampung seraya mengumadangkan takbir dimana tujuannya adalah agar masyarakat kaum Muslim turut serta mengingat dan bersyukur kepada Allah ta'ala.Â
Seiring perkembangan zaman khususnya di Megapolitan seperti Jakarta, takbiran keliling pun jauh lebih meriah lagi dimana mereka memanfaatkan alat transportasi berikut menabuh bedug untuk menjangkau wilayah yang lebih luas.
Namun disinilah permasalahannya. Ketimbang kaum Muslim yang berkumpul dan menglafazkan takbir di Masjid secara fokus dan tenang, takbiran keliling kini justru jauh dari marwah Islamiyah dimana cenderung kepada senang-senang semata sambil mengitari wilayah Jakarta.Â
Alhasil takbiran keliling yang sejatinya bertujuan baik, justru malah mudarat karena ketidakdisiplinan para pesertanya mengganggu serta memungkinkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Dan hal itu menjadi pertimbangan mengapa takbiran keliling dilarang di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.