Dunia kedirgantaraan tengah menjadi sorotan, namun yang menjadi tajuk utama bukan mengenai prestasi melainkan skandal memalukan yaitu penyelundupan barang yang melibatkan orang penting di Garuda Indonesia sebuah BUMN yang memiliki jumlah karyawan per 30 Juni 2018 sebanyak 16.674 orang.
Dalam kronologisnya, otoritas Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta menemukan 15 koli berisikan parts motor Harley Davidson tipe Shovelhead keluaran 1972 dan 3 koli berisikan 2 unit sepeda Brompton berikut aksesoris (sepeda) dalam pesawat Garuda Indonesia tipe Airbus A330-900 seri Neo yang baru saja tiba dari pabrik Airbus di Perancis.
Penyelundupan barang import ini jelas merupakan pelanggaran dimana seharusnya penumpang yang membawanya wajib melakukan "self declared" dan membayar pajak sesuai ketentuan.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa negara berpotensi mengalami kerugian berkisar antara Rp 532 juta sampai Rp 1,5 miliar apabila pihak bersangkutan tidak mengikuti prosedural yang berlaku.
Atas peristiwa tersebut Menteri BUMN Erick Tohir pun segera mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan Direktur Utama Garuda Indonesia berinisial AA dan ia akan  menelusuri keterlibatan oknum lain dalam penyelundupan ini.
Berbicara soal penyelundupan barang import ilegal kiranya bukan hal yang baru di negeri ini. Pertanyaannya, apa sih yang orang Indonesia tidak punya?
Hampir keseluruhan barang-barang import yang tidak ada di Indonesia bila kita cermati semua bisa terealisasi. Dari kendaraan bermotor rare sampai super mewah, tas branded dan pernak pernik fashion harga jutaan hingga ratusan juta, barang-barang elektronik teknologi terkini, hingga pakaian bekas import pun ada, tetapi dengan catatan berapa besaran upeti yang diberi.
Pada kenyataannya mungkin saja kasus penyelundupan barang import yang terjadi di Garuda Indonesia hanya satu dari segelintir barang-barang import ilegal lainnya yang telah lebih dahulu beredar di Indonesia. Dengan kata lain, pekerjaan rumah otoritas negeri ini untuk mengatasi maraknya aksi penyelundupan barang import ilegal masih jauh dari kata selesai.
Di satu sisi pula, Penulis melihat kasus penyelundupan barang import ilegal ini layaknya ironi Orang Kaya Baru (OKB).
Tak sedikit orang-orang yang punya harta berlebih di Indonesia hanya punya kemampuan membeli barang serba branded tetapi lalai dalam menunaikan peraturan yang berlaku. Mereka mau membayar suatu barang dengan harga mahal, tetapi mereka tidak mau mengeluarkan seperak pun uang mereka untuk membayar besaran pajak yang dikenakan.
Alhasil beberapa mereka ada yang memanfaatkan jabatan dan koneksi, melakukan tindakan suap, sampai memalsukan identitas agar terhindar dari pajak.Â