Penulis tak akan berbasa-basi diawal materi ini, toh sudah banyak kanal berita online yang mempublikasikannya dan menjadi perhatian publik. Secara kesimpulan kisruh antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan PB Djarum masih berlangsung hingga kini. Berbagai pihak berupaya turun tangan untuk memediasi kedua belah pihak agar mendapatkan titik temu.
Mengenai kisruh antara KPAI dan PB Djarum, menurut pandangan Penulis bagaimanapun kondisinya memang akan berat bagi salah satu kubu yaitu KPAI.
Simplenya begini, mau KPAI beralasan benar sekalipun prihal apa yang dilakukan oleh PB Djarum melanggar aturan dengan asumsi memanfaatkan anak-anak untuk mempromosikan merek "Djarum" yang identik dengan produk rokok.
Toh secara histori tidak bisa disanggah bahwa PB Djarum berjasa besar atas regenerasi atlit-atlit bulu tangkis di Indonesia yang mampu meraih prestasi dan mengharumkan nama tanah air di kancah dunia.
Cabang olahraga bulu tangkis sudah seperti menjadi "icon" bagi bangsa ini dan salah satu cabang olahraga yang digandrungi oleh masyarakat Indonesia selain sepakbola.
Sederet nama-nama besar legenda bulu tangkis Indonesia lahir dari audisi PB Djarum laksanakan, sebut saja Liem Swie King, Christian Hadinata, Arbi B wiranata, Alan Budikusuma, ganda putra Sigit Budiarto dan Chandra Wijaya, dan masih banyak lainnya. Nama-nama tersebut bukan saja telah berjasa bagi Indonesia tetapi nama mereka sudah melekat di hati rakyat Indonesia.
Disini KPAI seharusnya melihat bahwa bukanlah nama "Djarum" yang rakyat Indonesia elu-elukan. Mereka (Djarum) sekadar "pihak dibalik layar" dari apa atlit bulu tangkis Indonesia capai.
Kemudian prihal makna "Djarum" yang akrab oleh masyarakat kenal sebagai merek dagang produk rokok. Kita memang tidak bisa menyanggahnya, toh realitanya demikian.
Akan tetapi apakah ada eksploitasi dari apa yang dimaksudkan bahwa brand image tersebut punya maksud terselubung yang berdampak menjadikan generasi muda negeri ini akan menjadi seorang perokok atau sesuatu yang diidentikkan negatif? Tentu ini perlu penelitian lebih lanjut.
Namun hampir dipastikan bahwa mengapa seseorang menjadi perokok bukan disebabkan oleh betapa "macho"-nya iklan produk rokok di media, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan pribadi coba-coba dan pengaruh dari pergaulan maupun lingkungannya.
Jika KPAI melarang merujuk kepada "brand image" maka yang dikhawatirkan di kemudian hari kemungkinan permasalahan yang sama akan timbul dikarenakannya. Merek-merek dagang lainnya bisa saja menulai polemik dengan dalih mencari-cari dimana letak salahnya.