Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Polemik Dwifungsi Trotoar Anies Baswedan

9 September 2019   10:55 Diperbarui: 10 September 2019   16:44 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkeinginan membagi trotoar yang sudah direvitalisasi untuk pejalan kaki dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Pemprov DKI Jakarta akan menentukan lokasi dan lebar trotoar yang bisa digunakan untuk PKL berjualan.

Tentu itikad Anies ini menuai kecaman segelintir pihak yang menolak hal tersebut.

Akan tetapi Anies bersikukuh bahwa apa yang ia rencanakan memiliki landasan hukumnya yaitu pada Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, trotoar memiliki banyak fungsi.

Dikutip dalam Pasal 13 ayat 2 Permen tersebut berbunyi, "Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki."

Merujuk dengan apa yang Anies kemukakan di mana trotoar yang telah direvitalisasi tak sekadar untuk pejalan kaki tetapi dapat pula digunakan oleh PKL, hal ini tentu bertentangan dengan apa yang  pernah ia utarakan pada saat menghadiri program Indonesia Lawyers Club beberapa saat lalu.

Dalam Indonesia Lawyers Club Anies berujar "Apa alat transportasi yang hampir dimiliki setiap orang?"

Ia menjawab, "Kaki. Oleh karena itu apa yang harus dibangun pertama adalah untuk kaki". 

Kemudian Anies menjelaskan bahwa urutan dalam gagasan "membangun transportasi" yang ia bangun nomor satu adalah pejalan kaki, kedua kendaraan bebas emisi, nomor tiga transportasi umum, dan nomor empat barulah kendaraan pribadi. Ia pula menambahkan perihal "mengapa kita membangun trotoar, karena kita konsisten dengan ide itu".

Bagi penulis, tidak mengherankan bila muncul reaksi tatkala Anies mengemukakan ide agar trotoar dapat didwifungsikan. Anies acapkali membuat standar ganda dengan apa yang ia pernah ucapkan sendiri, seperti rumah tapak yang sebenarnya rumah susun, naturalisasi kali yang sejatinya normalisasi kali, dan sebagainya. 

Penulis berusaha mencerna apakah karena Pedagang "Kaki" Lima maka wajar bila mereka diprioritaskan dibandingkan mereka yang berkaki dua. Hehehe.

Mengacu pada kebiasaannya itu maka menjadi pertanyaan mengapa Anies keukeh soal PKL ini agar dapat ditempatkan di trotoar yang semustinya sarana tersebut dikhususkan untuk pejalan kaki ketimbang merencanakan sebuah area yang dikhususkan bagi PKL agar dapat leluasa berjualan dan tidak mengganggu objek yang lain di sekitarnya.

Aturan dasar Permen terkait PKL (Bab 4, Pasal 13 ayat 2) ini Penulis beranggapan bahwa Anies melupakan bahwa ada rujukan ayat 1 yang terikat. Sebagaimana pasal tersebut berbunyi :

Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. jenis kegiatan;
b. waktu pemanfaatan;
c. jumlah pengguna; dan
d. ketentuan teknis yang berlaku.

Kemudian penulis menambahkan pada Bab 5 Pasal 16 Permen tersebut pun tercantum, "perencanaan, penyediaan, dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki dilaksanakan dengan melibatkan peran masyarakat." 

Dalam hal ini jelas bahwa Anies tidak bisa membuat keputusannya sendiri tanpa mengindahkan masukan dari masyarakat mengenai apa yang ia rencanakan.

Polemik perihal dwifungsi trotoar ini bagi penulis sebagai warga Jakarta bukanlah hal baru. Di lokasi dekat penulis tinggal tepatnya di kawasan Rumah Sakit Islam Jakarta Pusat, di area tersebut trotoar yang sudah direvitalisasi sebagian telah digunakan oleh PKL yang notabene dikelola oleh Pemprov DKI.

Kondisi di salah satu area Pujasera tersebut (belakang Univ. Yarsi Jakarta) memang terorganisasi dengan baik di mana PKL tertata rapi menjajakan jualan mereka dan pejalan kaki dapat leluasa menyusurinya. Berbeda halnya keadaan persis di depan Wisma PHI, walau PKL berjejer secara rapi namun area untuk pejalan kaki begitu pas-pasan.

Apa yang baik bukan berarti tanpa masalah. Penataan yang dilakukan oleh Pemprov DKI justru memunculkan sejumlah permasalahan baru di mana area tersebut ramai oleh kendaraan pribadi para pengunjung sehingga mengganggu arus lalu lintas dan acapkali mengundang PKL lain ke kawasan tersebut dengan menggunakan sisi jalan sebagai lokasi berjualan.

Dalam kasus dwifungsi trotoar ini menurut Penulis bagaimanapun Anies maupun Pemprov DKI Jakarta harus berpikir dua kali mengenai apa maksud tujuan mereka berikut dampak yang timbul.

Anies boleh saja bercita-cita trotoar di Jakarta layaknya trotoar kota-kota besar di belahan dunia lain, tetapi Anies perlu ingat bahwa kesemuanya berlandaskan pada landasan peraturan yang ditegakkan dan memprioritaskan kenyamanan sekitarnya.

Demikian artikel penulis, mohon maaf bila ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun