Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengambil Hikmah dari Polemik Ceramah UAS

23 Agustus 2019   08:42 Diperbarui: 23 Agustus 2019   17:42 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak mengenal Ustadz Abdul Somad Batubara atau akrab disingkat UAS. Seorang Ulama berikut pendakwah kelahiran 1977 asal Asahan, Sumatra Utara beberapa tahun belakang ini namanya santar terdengar di seluruh penjuru Indonesia. Sosoknya seringkali diundang untuk mengisi acara dakwah dan menghiasi layar kaca dalam program regili Islam. 

Ketenarannya kian bertambah manakala dirinya sempat digadang-gadang menjadi kandidat kuat bakal calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto saat Pemilihan Presiden 2019 lalu.

Namun kondisi berbeda ia alami saat ini, dimana sosoknya dilaporkan ke Bareskim Polri oleh pihak keberatan atas video ceramahnya beberapa waktu silam yang viral media sosial.

Dalam kesempatan yang sama, UAS telah mengklarifikasi prihal isi ceramahnya itu kepada Majelis Ulama Indonesia dan dari pertemuan tersebut MUI berkeinginan agar polemik yang terjadi dapat diselesaikan tanpa menempuh jalur hukum.

Dalam kapasitas Penulis pada artikel ini bukan bermaksud untuk membahas polemik ceramah apa yang UAS sampaikan, melainkan berupaya mengambil hikmah dari apa yang terjadi. 

Walau demikian keprihatinan Penulis utarakan lebih kepada mengapa polemik ini seolah dibuat berlarut-larut? Mengapa konten yang sudah bertahun-tahun lalu lamanya bisa menyeruak dan menjadi perhatian publik banyak, siapa aktor utama yang menyebarluaskannya, dan apa maksud tujuannya?

"kebaikan mudah dilupakan, tetapi keburukan akan diingat selamanya."

Terlepas dari itu semua, Penulis teringat sebuah kalimat yang berkata "semakin tinggi pohon maka semakin kencang anginnya dan semakin sakit jatuhnya". Berkaca dari sosok UAS, bisa dikatakan beliau memang sedang berada di dahan pohon yang tertinggi saat ini. 

Sosoknya yang sederhana, ilmu agama Islam yang beliau kuasai sangat baik, serta ia pandai dalam berdakwah wajar bilamana membuat UAS begitu disegani oleh kalangan umat.

Akan tetapi mungkin saja polemik akan ceramahnya terdahulu ini semoga menjadi pembelajaran bagi beliau untuk semakin istiqomah, bahwa semakin tinggi seseorang maka akan semakin besar pula cobaannya. 

Lagi dan lagi konten digital menjadi persoalan, seperti jejak digital takkan terhapus oleh waktu maka selayaknya dosa-dosa lama pun dapat bangkit dari kubur dan bergentayangan mengganggu (hidup).

UAS tentu tidak pernah mengira materi yang ia bawakan lalu bisa menjadi biang persoalan di masa kini. Materi yang dalam cakupannya tertutup justru melebar menjadi polemik dan menuai kecaman. 

Penulis yakini bahwa beliau tidak bermaksud buruk, apalagi menjadikan konten digital tersebut viral demi sensasi. Namun nasi telah menjadi bubur maka kini beliau harus hadapi dan upayakan dapat terselesaikan.

Belajar dari apa yang UAS alami, zaman teknologi dan informasi sekarang ini memang memudahkan segala sesuatunya khususnya prihal dokumentasi melalui (wujud) konten digital yang kini mudah disebarluaskan. 

Nyatanya konten digital ini begitu rawan dari kesalahan (keteledoran diri pribadi) maupun disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggungjawab. Alih-alih manfaat didapat justru malah masalah yang menghampiri. 

Sebagai warganet, tentunya kita perlu baik-baik dalam menyingkapi hal ini. Jangan sampai konten digital yang dahulu pribadi unggah jadi perkara di kemudian hari.

Mengambil hikmah dari apa yang UAS alami, baik posisi kita apakah itu dikala rendah maupun tinggi kiranya musti menjaga sikap dan prilaku kepada sesama. 

Dalam konteks sosial bahwa kita sebagai umat beragama harus menjunjung tinggi toleransi antar umat dimana menghormati apa masing-masing ajaran agama yang dianutnya.

Acapkali hal diatas ini yang kerap menjadi biang keladi permasalahan umat beragama di Indonesia, adanya dinding-dinding pemisah antar umat menjadikan ketidaktahuan yang menimbulkan salah paham diantaranya maupun sumbu provokasi yang diprakarsai oknum yang menginginkan bangsa ini selalu ribut dan terus terpuruk.

"ingat, kebencian dibawa sampai liang kubur"

Tentunya ini menjadi peringatan buat kita semua sebagai rakyat Indonesia bahwasanya perlu kedewasaan dalam menyingkapi sesuatu hal yang berkaitan dengan unsur religi. 

Memang benar prihal keyakinan memang tidak ada istilah "mempermainkan", akan tetapi jangan kita sebagai umat beragama lantas meniadakan  pintu maaf di dalam diri pribadi maupun kepada orang lain. 

Sebagai penutup Penulis sekadar memberi nasihat, "Kalau orang lain berbuat tidak baik kepada pribadi maka jangan pribadi berbuat tidak baik pula kepadanya, karena akan sama saja kerasnya (kualitasnya). Berbuat baiklah kamu kepadanya niscaya ia akan luluh hatinya". Oleh karena itu mari kita sebagai umat beragama jalin komunikasi yang baik agar rukun. 

Sebarkan kasih dan kebaikan antar umat beragama agar bangsa Indonesia aman dan damai. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun