Perhelatan Pemilihan Presiden 2019 telah jauh-jauh hari usai dan menjadikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode berikutnya.Â
Para elite politik antar partai pun kini rujuk kembali merajut sebuah pemerintahan yang baru untuk dikelola bersama-sama. Rakyat Indonesia mencoba untuk pulih, bersatu kembali, dan melanjutkan kehidupan sedia kala.
Mengingat kembali soal berlangsungnya Pilpres 2019 kemarin memang bisa dibilang jauh lebih terdengar bisingnya ketimbang merdunya.Â
Iklim politik negara yang seketika memanas akibat tensi tinggi kontestasi dimana suara masyarakat terpecah mendukung pasangan calon masing-masing.Â
Saling serang, saling sumpah serapah, saling benci bergemuruh di seantero Indonesia seolah-olah negeri ini sedang memilih Tuhan. Nilai demokrasi negeri ini seakan luntur, nalar pun seperti tak bekerja, diselimuti ego, merasa paling benar, dan haus kuasa.
Berkaca dari betapa prihatinnya moment tersebut, Indonesia yang genap berusia 74 tahun bisa dikatakan sebagai negara yang masih "unyu-unyunya".Â
Dibandingkan usia manusia yang kaya akan pengalaman hidup, negeri ini masih terbelenggu dengan pola pikir bak katak dalam tempurung, terperdaya oleh narasi-narasi pembodohan yang menyebabkan negeri ini sulit untuk maju dan berkembang. Salah satunya narasi pembodohan mengenai "asing dan aseng".
Jika kita telaah narasi "asing dan aseng" yang berkumandang hingga sekarang ini bukan sekadar narasi yang menjurus kepada kebencian saja.Â
Nyatanya narasi tersebut tidak secara langsung menggambarkan sesosok individu yang seolah sedang merasa terancam dan  ketakutan serta menutup-nutupi realita yang ada.
Pertanyaannya terancam dan ketakutan kepada apa? Terhadap kenyataan bahwa bangsa ini sudah jauh tertinggal dengan bangsa maju yang lain.Â
Bangsa ini seperti tidak mau menerima kenyataan bahwa era globalisasi sudah di depan mata dimana bangsa-bangsa lain berusaha untuk memperkokoh setiap lini untuk memperkuat negerinya.
Sedangkan di negeri ini kita lebih banyak menghabiskan waktu saling beradu sesama saudara setanah air, waktu demi waktu kita lebih banyak habiskan untuk beragumen ketimbang berbuat, dan merudung soal keterpurukan yang terjadi di dalam negeri ketimbang berusaha untuk bangkit, serta gemar menebar rasa pesimis yang menjadikan selalu Indonesia sebagai negara dunia ketiga.
Narasi pembodohan asing dan aseng seperti membuat negeri ini khawatir dengan ancaman dari luar ketimbang bersama-sama memikirkan bagaimana cara agar meningkatkan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia melalui Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), maupun sumber daya lainnya.
Betapa lucunya bukan, kita seperti dicuci otak bahwa kita sebagai pribumi yang merasa paling berhak. Akan tetapi sebagai pribumi, tak sedikit individu di negeri ini justru tidak acuh terhadap hukum dan norma berlaku, berbuat semaunya, serakah, dan menindas siapa yang lemah.Â
Kita seolah dibodohi oleh narasi tuan rumah yang tidak apik merawat rumahnya sendiri dimana rumahnya tak nyaman lagi ditinggali maka salahkan saja tamunya.
Kita selalu membangga-banggakan sejarah kejayaan negeri ini di masa lalu, tetapi negeri ini seperti tidak ada keinginan menorehkan kesuksesan di masa kini dan mendatang.Â
Kita selalu membangga-banggakan keberagamaan yang dimiliki bangsa ini baik dari suku, agama, bahasa, dan budaya dimana nyatanya kita tidak bisa merawat dan melestarikannya. Kita menjadi bangsa yang bangga bisa membeli dan pakai tetapi tidak mampu membuatnya.
Dari sini kita seharusnya sadar bahwa apa yang mengancam bangsa ini bukanlah asing dan aseng, melainkan bangsa ini sendiri. Kita tidak bisa terus menjadi bangsa yang selalu berpuas diri menafikan apa yang terjadi diluar sana dan situasi dalam negeri sendiri. Kita tidak bisa menjadi bangsa berdiam diri sedangkan setumpuk pekerjaan rumah belum terselesaikan.
Di era globalisasi kita tidak bisa bermalas-malasan, tidak cukup hanya bermodalkan mimpi, dan tidak cukup hanya bertitahkan persatuan, kita harus berinovasi dan segera berevolusi.Â
Tidak ada istilah kita terancam dan takut dengan narasi asing dan aseng seandainya Indonesia menjadi negara yang maju dan jalan untuk mencapainya adalah bersama-sama.Â
Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H