Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ini Alasan Publik Antipati terhadap KPI

16 Agustus 2019   08:30 Diperbarui: 17 Agustus 2019   19:35 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rencana KPI untuk turut serta mengawasi konten digital pada media baru seperti Netflix, Youtube, Facebook, dan sebagainya hingga kini masih menuai polemik. 

Umumnya rencana KPI ditanggapi oleh penolakan publik yang mana merasa KPI masih memiliki pekerjaan rumah yaitu mengawasi media konvensional (televisi dan radio), memperbaiki bobroknya kualitas pertelevisian nasional, dan tak memiliki wewenang baik dasar hukum maupun regulasi dalam mengawasi konten digital media baru.

Acapkali penulis merasa prihatin terhadap kualitas pertelevisian nasional dan kerap mengangkat materi ini sebagai bahan tulisan di Kompasiana. Merujuk pada alasan-alasan ketidakcakapan KPI untuk turut serta mengawasi konten digital.

Salah satu penyebab buruknya kinerja KPI yaitu kurang pekanya mereka atau adanya pembiaran terhadap tayangan-tayangan infotainment yang gemar mengumbar aib, di mana sasarannya tak lain dan tak bukan kalangan selebritis tanah air.

Sebelum kita masuk kepada pembahasan materi utama, maka kita lebih dulu cari tahu apa yang dimaksud dengan aib?

Mengutip dari laman KBBI, aib berarti malu, cela, noda, salah, dan keliru. Secara penjabaran aib ialah suatu tindakan yang tidak baik dilakukan oleh individu dimana hal tersebut dapat menimbulkan efek psikologis negatif bagi pribadi maupun orang lain (individu yang memiliki relasi dengan pelaku) apabila tersebar secara luas. 

Aib itu diibaratkan sebagai bangkai, di mana harus dikubur dalam-dalam agar tidak tercium orang, karena bila bangkai itu tercium maka orang lain pun akan membencinya.

Tentu yang menjadi pertanyaannya adalah tindakan yang tidak baik seperti apa yang dikategorikan sebagai aib? Dalam konteks sosial maka ada 4 hal terkait yaitu tindakan yang melanggar norma hukum, norma susila, norma kesopanan, dan norma agama.

Pada kenyataannya hal yang dijabarkan di atas sadar tidak sadar seringkali dipertontonkan oleh tayangan infotainment sebagai daya pikat publik ketimbang mengangkat sisi positif yang publik figur dapat contohkan kepada publik.

Sebagai contoh, dalam beberapa kesempatan di kala intensitas program infotainment seolah membanjiri kanal televisi dari pagi hingga sore hari, dari minggu ketemu minggu lagi, didapati konten-konten yang merujuk kepada aib individu seperti konflik dalam rumah tangga, hamil di luar nikah, kumpul kebo, dan lain sebagainya.

Konten-konten tersebut seolah berulang tersebar secara masif dikarenakan intensitas program infotainment dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi yang lain. Semakin mirisnya, aib tersebut seperti dieksploitasi berlebih oleh program infotainment layaknya konten hiburan.

Pertanyaannya kenapa bisa demikian? Apakah KPI tidak memiliki panduan baku prihal materi apa-apa saja yang layak tonton? Apakah KPI secara tidak langsung menyerahkan publik untuk menyaring mana saja konten yang dianggap baik dan buruk? Apakah KPI tidak berwenang menegur maupun memberhentikan program infotainment seperti itu?

Acapkali keprihatinan publik terhadap kondisi ini mengundang statement "kalau tidak layak tonton ya tidak usah ditonton". Statement yang seolah hal tersebut sudah mutlak dan tidak akan ada penyelesaiannya. Tidak mengherankan hal ini serta merta menjadikan publik yang segan dengan tayangan tidak layak tersebut beralih ke media baru.

Mengacu pada media baru seperti Netflix, Youtube, Facebook maupun sebagainya, penulis dapat katakan konten-konten di dalamnya tidak semuanya sehat. Namun ada perbedaan mendasar dengan apa yang program televisi kemukakan dengan konten digital pada media baru yaitu "kendali".

Di mana pada program infotainment kendali ada pada stasiun televisi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas isi konten siaran mereka, sedangkan pada media baru sebagai "user" diberikan kendali untuk memilih mana konten yang cocok baginya.

KPI seharusnya mawas diri perihal ini bahwa keengganan publik terhadap rencana mereka mengawasi konten digital di media baru lebih disebabkan oleh antipati publik terhadap kinerja KPI dalam mengawasi media konvensional. 

Khususnya televisi, regulasi KPI dari dualtone scene darah, memblur materi tidak layak, hingga tidak menampilkan adegan ciuman tak secara seluruhnya dipandang buruk oleh pemirsa namun dinilai tidak berbarengan dengan perbaikan mutu kualitas program tayangan yang ada sekarang, di mana menyimpan dampak panjang yang lebih buruk terutama dalam hal membentuk kepribadian. 

Kemudian KPI sepatutnya mengakomodasi aduan-aduan masyarakat terhadap program tayangan yang dinilai meresahkan lebih kepada tindakan tegas ketimbang sebatas aturan baku berupa teguran yang nyatanya tak membuat stasiun televisi gemar berulah kian matang untuk memperbaiki mutu kualitas mereka.

Kesemuanya tinggal berserah kepada keputusan KPI, apakah mereka satu sikap kepada rencana untuk mengawasi konten digital ataukah mereka akan membereskan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai pada media konvensional.

Demikian artikel penulis, mohon maaf bila ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun