Kemarin atau tepatnya tanggal 1 April 2019 diperingati sebagai Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-86. Harsianas ini merujuk kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.Â
Sebagaimana tercantum dalam Keppres bahwa pertimbangan Harsianas mengacu pada momentum tanggal 1 April 1933 di Kota Solo, Jawa Tengah telah didirikan Lembaga Penyiaran Radio milik bangsa Indonesia yaitu Solosclre Radio Vereeniging (SRV | yang diprakarsai oleh KGPAA Mangkunegoro VII, merupakan perintis berdirinya radio ketimuran milik bangsa Indonesia yang berjasa dalam menggunakan teknologi modern untuk pengembangan budaya Indonesia. Kemudian pemangku kepentingan di bidang penyiaran telah melakukan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional pada tanggal 1 April 2010.
"Harsiarnas ini pun bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memajukan kesejahteraan umum".
Berkaca dari Keppres tersebut dicetuskannya 1 April sebagai Harsianas nampak begitu mulia. Dalam hal ini bisa amati penyiaran di Tanah Air merupakan bagian dari sejarah berkembangnya bangsa Indonesia sampai detik ini. Televisi dan Radio merupakan bagian yang kiranya tak dapat dipisahkan dari masyarakat sebagai sarana penunjang guna mendapatkan beragam informasi maupun hiburan.
Namun dibalik hingar bingar nampaknya masih begitu banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi dalam upaya mewujudkan maksud tujuan dicetuskannya Harsianas, khususnya bagi insan pertelevisian.
Wajah pertelevisian nasional dipandang bukan semakin maju justru mengalami kemunduran dengan hadirnya "program tayangan yang masih memperkenankan konten-konten tidak bermutu atau tidak sehat" menjadi konsumsi publik. Materi konten inilah yang menjadi biang permasalahan dan banyaknya aduan masyarakat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku pengawas program tayangan di televisi.Â
Memang banyaknya aduan masyarakat juga ditenggarai oleh kemajuan teknologi yang mempercepat dan mempermudah alur informasi, akan tetapi hal tersebut tidak menampik eksistensi adanya konten tidak sehat di televisi dan betapa besar kepedulian masyarakat terhadap dampak yang mungkin bisa diakibatkan oleh konten tidak sehat itu. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kualitas pertelevisian nasional memang "seburuk" itu?
Ya jika kita berasumsi berapa total program tayangan televisi yang diproduksi oleh stasiun televisi selama satu tahun berbanding dengan banyak aduan masyarakat yang diterima KPI serta berapa program tayangan yang ditindaklanjuti kepada sanksi tertulis, teguran, hingga pemberhentian sementara bisa dikatakan program tayangan yang berisikan konten tidak sehat ibarat jarum dalam tumpukan jerami. Mengapa?
Ada beberapa hal melatarbelakanginya, yaitu :
1. Konten-konten tidak sehat tersebut bisa saja nampak jelas ada tetapi jarang kemudian masyarakat adukan sebagai bentuk pelanggaran.
2. Konten-konten tidak sehat tersebut ada nampak jelas namun tidak masyarakat laporkan sebagai bentuk pelanggaran.
3. Konten-konten tidak sehat tersebut ada tetapi samar sehingga masyarakat ragu untuk melaporkan sebagai bentuk pelanggaran.
4. Aduan masyarakat yang dilaporkan kepada KPI merujuk kepada beberapa konten-konten tidak sehat atau bentuk pelanggaran yang serupa kepada salah satu stasiun televisi yang dituju.
Oleh karena itu mengapa indeks aduan berbanding tindak lanjut pemberian sanksi sangatlah kecil. Lantas apakah dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa stasiun televisi telah menghadirkan tayangan berkualitas? Jawabannya adalah belum. Kenapa?
Karena selama masih bergentayangannya konten tidak sehat berikut aduan masyarakat maka secara jelas stasiun televisi belum melaksanakan tugasnya untuk memberikan masyarakat tayangan yang sehat dan mematuhi aturan penyiaran yang berlaku yaitu P3SPS.Â
Bukankah masyarakat diminta untuk cerdas? Benar masyarakat memang diminta untuk cerdas dalam memilih program tayangan "berkualitas" dalam artian memilih diantara program tayangan berkualitas lainnya. Hal ini bukan malah menjadikan kesewenangan stasiun televisi untuk mempertontonkan konten tidak sehat kepada masyarakat.Â
Sebagaimana tercantum dalam Keppres yaitu "terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa serta mencerdaskan kehidupan bangsa", maka sudah jelas bahwa stasiun televisi punya tanggungjawab moral kepada masyarakat ketika memproduksi sebuah program tayangan.
Dari kesemua diatas bukan berarti program-program tayangan seperti sinetron, variety show, reality show, dan pencarian bakat yang acapkali mendapatkan aduan masyarakat mutlak 100% dilarang. Melainkan format program tayangan seperti dimaksud agar senantiasa menampilkan konten-konten yang sehat bagi masyarakat.Â
Apakah begitu sulit memproduksi program tayangan sehat sehingga rating program dapat tinggi?Â
Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H