Anda merasa jengkel dengan buruknya kualitas pertelevisian nasional? Percayalah bahwa Anda tidak hanya sendiri yang merasakannya. Sekiranya hal itu yang Penulis jumpai ketika menghadiri acara "KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Jumpa Warganet" pada hari Senin, 25 Maret 2019 bertempat di Kantor Komisi Penyiaran Indonesia, Jl. Ir. H. Juanda No.36, Jakarta Pusat.
Acara ini merupakan acara yang terselenggara baru untuk pertama kalinya KPI lakukan. Acara tersebut berangkat pada petisi online yang dibuat oleh seorang psikolog bernama Dedy Sugianto beberapa waktu lalu.
Untuk itu KPI menginisiasi acara ini selain untuk menerima aspirasi-aspirasi nitizen yang mengeluhkan buruknya kualitas pertelevisian nasional melalui kanal aduan yang KPI sediakan berikut upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai apa tugas dan wewenang KPI.
Dalam acara turut menyertakan beberapa narasumber, diantaranya 4 Komisaris KPI Bidang Isi Penyiaran yaitu Bpk. Hardly Stefano, Bpk. Mayong Suryo Laksono, Ibu Nuning Rodiyah, dan Ibu Dewi Setyarini.
Turut pula mengundang Bpk. Dedy Sugianto, Ibu Dian Fatwa, dan Ibu Selly beserta sekitar 50 orang kalangan masyarakat.
Menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkan satu generasi
Acara dibuka oleh kata pengantar yang disampaikan Ibu Dian Fatwa, melalui pengalamannya selama beliau menetap di Australia dan ikut mengelola televisi publik disana bahwa ada perbedaan yang lebar antara kualitas pertelevisian diantara kedua negara.
Beliau menggambarkan bahwa pertelevisian di Australia di mana sebagai negara sekuler justru sangat peduli terhadap kualitas tayangan mereka khususnya tayangan bagi anak-anak.
Namun sebaliknya di Indonesia, ia turut merasa khawatir dan prihatin melihat kualitas pertelevisian yang dipertontonkan cenderung meresahkan.
Hal tersebut beliau gambarkan dimana stasiun televisi di Australia memiliki divisi internal yang melakukan pengawasan terhadap program tayangan sebelum dipublikasi ke masyarakat.
Apa yang dimaksudkan beliau yaitu stasiun televisi melakukan "self censorship" guna mengantisipasi dan menjaga kualitas (konten) tayangan berikut menjaga martabatnya (nama baik stasiun televisi).
Kemudian beliau menuturkan bahwa pertelevisian di Australia sangat anti terhadap konten-konten tayangan yang kiranya seronok, apalagi seperti membully maupun prilaku yang menghina maupun merendahkan orang lain tidak mereka perkenankan.Â
Mereka berusaha menampilkan hal-hal positif seoptimal mungkin dengan upaya mendidik anak yang menonton televisi agar mengapresiasi sekecil apapun yang mereka (anak-anak) temui.Â
Dengan demikian para orang tua sekiranya tidak merasa khawatir kepada anak terhadap konten-konten yang muncul di televisi. Bagi beliau menyelamatkan satu anak sama dengan menyelamatkan satu generasi.
Menanggapi hal tersebut Penulis yakin bahwa perbaikan kualitas pertelevisian nasional darurat perlu segera dilakukan.
"Hopeless dan Useless"
Lantas bagaimana jalan acara "KPI Jumpa Warganet" ini?
Acara yang berlangsung sekitar dua jam lebih ini menurut padangan Penulis berjalan sangat intens (sangat emosional) dan alot.
Hal itu tergambarkan bagaimana ketika Komisioner KPI sedang menjelaskan tugas dan wewenangnya sesuai Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) namun sesekali para warga memotong dan menceritakan pengalaman maupun dampak (sosial) yang diakibatkan oleh buruknya kualitas konten dari stasiun televisi.
Dari penuturannya, KPI mengemukakan bahwa telah melaksanakan apa yang menjadi tugas dan wewenangnya sesuai peraturan.Â
Ragam konten-konten negatif yang hadir di masyarakat bukan berarti KPI "kecolongan" melainkan KPI tidak memiliki wewenang dalam pra produksi tayangan pada stasiun televisi.
KPI baru memiliki wewenang ketika ada konten yang dinilai meresahkan melalui pengawasan yang mereka lakukan maupun aduan masyarakat.Â
Barulah KPI menjembataninya ke stasiun televisi yang dimaksud dan menindaklanjutinya dengan sanksi apabila memang konten yang diadukan menyalahi aturan P3SPS.Â
KPI mengungkapkan bahwa jika ditelusuri bahwa jumlah konten bermasalahan yang diadukan dan diberikan sanksi relatif kecil dibandingkan jumlah belasan ribu tayangan televisi selama satu tahun.Â
Kemudian KPI mendeskripsikan dinamika pertelevisian bahwasanya apa saja yang dituntut oleh masyarakat terhadap perbaikan kualitas pertelevisian nasional perlu juga ditunjang oleh apakah stasiun televisi memiliki kemampuan untuk memproduksinya, sebagai contoh tuntutan prihal program lagu dikhususkan bagi anak-anak maka pertanyaannya apakah lagu-lagu anak sekarang ini eksis?Â
Di sisi lain masyarakat perlu tahu bahwa rating maupun jumlah penonton sangatlah mempengaruhi. KPI memberikan gambaran data program tayangan religi yang muatannya murni positif justru memiliki rating dan jumlah penonton sedikit, sebaliknya program tayangan yang menyertakan gimmic didalamnya justru memiliki rating dan jumlah penonton yang banyak.Â
Oleh karena itu KPI menyimpulkan bahwa masyarakat disini pun perlu cerdas menyaring mana kiranya konten yang baik dan mana yang buruk, secara bersamaan KPI akan siap dan sigap melakukan tugasnya mengawasi kualitas pertelevisian dan turut membina stasiun televisi agar memproduksi program tayangan yang sehat.
KPI juga menghimbau kepada masyarakat yang mengadu apabila menemukan konten yang dinilai bermasalah maka untuk sedianya mengisi secara lengkap informasi aduan sehingga KPI dapat segera menindaklanjutinya.
Jangan hanya sekadar mengadukan hanya apa yang viral di media sosial saja, tetapi masyarakat perlu juga mengawasi gerak gerik tayangan di televisi untuk tahu betul apa bentuk hal-hal yang dilanggar.
Ketidakikutsertaan pihak stasiun televisi dalam acara ini pun seolah diskusi antara KPI dan para warga menjadi tidak berarti sama sekali. Dari alotnya sikap pendirian KPI dan tuntutan warga yang menginginkan adanya perbaikan kualitas pertelevisian nasional bahwa ada satu yang nihil disini yaitu dimana tanggungjawab selaku stasiun televisi?
Sangat disayangkan seandainya perwakilan pihak stasiun televisi dihadirkan tentu mereka tidak hanya dapat mengetahui realita dari dampak buruknya konten yang mereka produksi tetapi juga melihat dengan mata kepala sendiri kegeraman para warga yang terpancar dari raut wajah mereka.
"Buruknya kualitas pertelevisian nasional merupakan masalah kita bersama"
Sebagai penutup artikel ini, dari acara "KPI Jumpa Warganet" kiranya ada satu poin didapat yaitu "niat baik" dari cita-cita bersama KPI maupun warga yang menginginkan perbaikan kualitas pertelevisian nasional.
Buruknya kualitas pertelevisian merupakan masalah kita bersama, tidak hanya KPI sebagai pengawas, tidak hanya masyarakat yang harus cerdas, begitupun peran dan tanggungjawab stasiun televisi maupun peran serta pengiklan selektif dalam memilih program tayangan berkualitas.Â
Kesemuanya butuh sinergi, kesemuanya butuh niat dan tekad guna menrealisasikan perbaikan kualitas pertelevisian nasional yang mendidik, menghibur, dan bermartabat.
Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi.
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H