Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

3 Kunci dalam Membangun Keluarga Harmonis

14 Mei 2018   09:22 Diperbarui: 14 Mei 2018   12:51 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kalimat yang menyatakan bahwa "berkeluarga adalah tantangan hidup sebenarnya". Kebenaran akan kalimat tersebut mungkin disanksikan, akan tetapi pada realitanya ketika seseorang memutuskan menikahi pasangan dan membina berumahtangga bahwa berkeluarga tak semudah mulut berucap.

Acapkali mereka yang hendak menikah terbuai oleh kata "kebahagiaan", kata yang kerapkali mengiming-imingi cita-cita berumahtangga. Tanpa banyak pikir, tanpa persiapan yang matang, dan hanya bermodalkan nekat (serba pas-pasan) alhasil jadilah kedua pasangan menikah.

Sebaliknya mereka yang enggan menikah, menanggapi pernikahan layaknya pantangan (sesuatu yang perlu dihindari). Bukan kebahagiaan yang digambarkan oleh mereka melainkan segudang permasalahan rumah tangga, alhasil timbul keraguan akut yang menyebabkan ketidakseriusan dalam membina hubungan dengan pasangan. Alasan demi alasan dilontarkan seiring waktu dan umur terbuang percuma.

Mereka-mereka yang telah lebih dahulu menikah layaknya pasangan di mabuk cinta. Satu tahun pertama romansa percintaan masih begitu kental terasa, suami istri tampak kompak dan serasi. Masuk tahun kedua, komitmen hidup bersama membuahkan hasil dengan kehadiran buah hati menambah suka cita berumahtangga. Tahun ketiga buih-buih  kasih sayang dalam membesarkan buah hati menjadikan keluarga kian harmonis, dst dst.

Tetapi gambaran kesemua itu hanyalah harapan, kehidupan berumahtangga acapkali memunculkan sesuatu hal yang tidak manusia duga bahkan jauh dari apa yang diperkirakan sebelum-sebelumnya. Termasuk gagal pahamnya pemikiran akan lamanya pernikahan sebagai jaminan pasangan hidup takkan bercerai.

Pada realitanya hal tersebut dapat terbantahkan. Mungkin para pembaca ikut menelusuri pemberitaan mengenai seorang selebritis yang digugat cerai oleh sang istri setelah 20 tahun menikah. Secara nalar kita akan kaget dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut dapat terjadi mengingat lamanya pernikahan dan jauh dari gosip miring.

Apa yang selebritis alami itu mungkin satu sekian peristiwa yang terjadi menggambarkan bahwa lamanya pernikahan tidak menjamin keluarga dapat bubar karena perceraian. Sejatinya sejak awal pertama kali pasangan saling mengikat janji sehidup semati maka timbul resiko perceraian. Resiko terjadinya perceraian baik karena problematika internal maupun eksternal akan terus mengiringi kehidupan berumahtangga. Anda tidak dapat memungkiri terjadinya perceraian, tetapi yang anda dapat lakukan adalah menjaga rumah tangga utuh, rukun, dan harmonis.

Ada poin-poin yang dapat bisa anda lakukan untuk menjadikan rumah tangga utuh, rukun, dan harmonis, antara lain : komunikasi yang baik, kedewasaan, dan sinkronisasi tujuan.

Komunikasi yang baik pada keluarga harus terus menerus dibangun dalam membina rumah tangga. Komunikasi bukan hanya menyangkut bagaimana tata cara yang benar dalam menyampaikan sesuatu hal kepada pasangan, melainkan turut pula menyertakan intensitas komunikasi diantaranya.

Semakin sering komunikasi antar suami istri dibangun maka akan menumbuhkan rasa saling pengertian satu sama lain terhadap masing-masing karakter sehingga dapat meminimalisir timbulnya masalah. Hal ini dilandasi seiring kehidupan berumahtangga maka memungkinkan terjadinya perubahan nasib, ragam problematika kehidupan, maupun perubahan karakter individu yang disebabkan oleh bertambahnya umur.

Kemudian poin pokok kedua adalah kedewasaan (pola pikir maupun bersikap) dalam menyelesaikan permasalahan keluarga. Berkeluarga maka menyangkut bagaimana nasib bersama, bukan lagi hidup mementingkan diri sendiri atau ego masing-masing baik suami atau istri, termasuk menyertakan bagaimana nasib anak kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun