Ada kalimat yang menyatakan bahwa "berkeluarga adalah tantangan hidup sebenarnya". Kebenaran akan kalimat tersebut mungkin disanksikan, akan tetapi pada realitanya ketika seseorang memutuskan menikahi pasangan dan membina berumahtangga bahwa berkeluarga tak semudah mulut berucap.
Acapkali mereka yang hendak menikah terbuai oleh kata "kebahagiaan", kata yang kerapkali mengiming-imingi cita-cita berumahtangga. Tanpa banyak pikir, tanpa persiapan yang matang, dan hanya bermodalkan nekat (serba pas-pasan) alhasil jadilah kedua pasangan menikah.
Sebaliknya mereka yang enggan menikah, menanggapi pernikahan layaknya pantangan (sesuatu yang perlu dihindari). Bukan kebahagiaan yang digambarkan oleh mereka melainkan segudang permasalahan rumah tangga, alhasil timbul keraguan akut yang menyebabkan ketidakseriusan dalam membina hubungan dengan pasangan. Alasan demi alasan dilontarkan seiring waktu dan umur terbuang percuma.
Mereka-mereka yang telah lebih dahulu menikah layaknya pasangan di mabuk cinta. Satu tahun pertama romansa percintaan masih begitu kental terasa, suami istri tampak kompak dan serasi. Masuk tahun kedua, komitmen hidup bersama membuahkan hasil dengan kehadiran buah hati menambah suka cita berumahtangga. Tahun ketiga buih-buih  kasih sayang dalam membesarkan buah hati menjadikan keluarga kian harmonis, dst dst.
Tetapi gambaran kesemua itu hanyalah harapan, kehidupan berumahtangga acapkali memunculkan sesuatu hal yang tidak manusia duga bahkan jauh dari apa yang diperkirakan sebelum-sebelumnya. Termasuk gagal pahamnya pemikiran akan lamanya pernikahan sebagai jaminan pasangan hidup takkan bercerai.
Pada realitanya hal tersebut dapat terbantahkan. Mungkin para pembaca ikut menelusuri pemberitaan mengenai seorang selebritis yang digugat cerai oleh sang istri setelah 20 tahun menikah. Secara nalar kita akan kaget dan bertanya-tanya, mengapa hal tersebut dapat terjadi mengingat lamanya pernikahan dan jauh dari gosip miring.
Apa yang selebritis alami itu mungkin satu sekian peristiwa yang terjadi menggambarkan bahwa lamanya pernikahan tidak menjamin keluarga dapat bubar karena perceraian. Sejatinya sejak awal pertama kali pasangan saling mengikat janji sehidup semati maka timbul resiko perceraian. Resiko terjadinya perceraian baik karena problematika internal maupun eksternal akan terus mengiringi kehidupan berumahtangga. Anda tidak dapat memungkiri terjadinya perceraian, tetapi yang anda dapat lakukan adalah menjaga rumah tangga utuh, rukun, dan harmonis.
Ada poin-poin yang dapat bisa anda lakukan untuk menjadikan rumah tangga utuh, rukun, dan harmonis, antara lain : komunikasi yang baik, kedewasaan, dan sinkronisasi tujuan.
Komunikasi yang baik pada keluarga harus terus menerus dibangun dalam membina rumah tangga. Komunikasi bukan hanya menyangkut bagaimana tata cara yang benar dalam menyampaikan sesuatu hal kepada pasangan, melainkan turut pula menyertakan intensitas komunikasi diantaranya.
Semakin sering komunikasi antar suami istri dibangun maka akan menumbuhkan rasa saling pengertian satu sama lain terhadap masing-masing karakter sehingga dapat meminimalisir timbulnya masalah. Hal ini dilandasi seiring kehidupan berumahtangga maka memungkinkan terjadinya perubahan nasib, ragam problematika kehidupan, maupun perubahan karakter individu yang disebabkan oleh bertambahnya umur.
Kemudian poin pokok kedua adalah kedewasaan (pola pikir maupun bersikap) dalam menyelesaikan permasalahan keluarga. Berkeluarga maka menyangkut bagaimana nasib bersama, bukan lagi hidup mementingkan diri sendiri atau ego masing-masing baik suami atau istri, termasuk menyertakan bagaimana nasib anak kelak.
Suami tidak bisa serta merta acuh terhadap nasib keluarga karena ia merasa kepala keluarga dan sumber nafkah bagi keluarga sehingga ia dapat berbuat semena-mena. Istri pun tidak bisa dengan gegabah menyatakan diri yang paling berjasa karena pontang panting mengurusi rumah tangga dan keluarga sehingga ia mengenyampingkan harga diri suami.
Segala permasalahan keluarga wajib diselesaikan secara dan demi kepentingan bersama, segala permasalahan keluarga wajib diselesaikan sesegera mungkin, dan segala permasalahan keluarga wajib diselesaikan dengan kepala dingin. Perlu di ingat emosi yang meluap-luap hanya dapat menggiring kepada permasalahan yang lebih besar, menghindari pasangan tidak akan menyelesaikan masalah, dan jangan menyertakan pihak ketiga (semisal ortu - fungsi orang tua memberikan masukan bukan tempat mengadu mencari pembenaran) dalam proses menyelesaikan masalah karena memungkinkan terjadinya polemik.
Dan terakhir sinkronisasi tujuan. Sinkronisiasi tujuan bukan berarti pasangan hidup tidak diperkenankan untuk bermimpi akan masa depan berumah tangga. Akan tetapi sinkronisasi tujuan lebih kepada mengaktualisasi diri terhadap komitmen awal dalam membina rumah tangga, seperti sadar diri terhadap kemampuan dan gambaran kebahagiaan yang dapat dicapai. Jangan malah sebaliknya bermimpi dengan seperti apa gambaran yang orang lain harapkan. Layaknya kalimat "rumput tetangga lebih hijau", yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana mengurus rumput di halaman sendiri.
Apabila anda berkeinginan agar keluarga utuh, rukun, dan harmonis maka pegang teguh komitmen anda dalam mewujudkannya, jaga baik-baik diri anda dan keluarga, serta minimalisir segala bentuk permasalahan jangan sampai membesar ataupun melebar. Seiring lamanya pernikahan yang anda jalani, ingatlah selalu meomentum jatuh bangun yang telah anda lewati bersama pasangan agar menjadikannya sebagai kekuatan untuk memperkokoh hubungan hingga maut memisahkan. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H