Mengkritik bukan berarti membenci, mungkin itu alasan sikap kritis Penulis menanggapi kebijakan-kebijakan pemimpin DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Tidak ada udang dibalik batu bahwa kesemua yang Penulis utarakan merupakan murni bentuk pemikiran pribadi, termasuk prihal rencana legalisasi becak di Jakarta.
Mengapa Penulis mengkritisi prihal legalisasi becak? Sebelumnya Penulis mengajak para pembaca untuk menggunakan nalar dengan baik-baik mengenai materi ini.
Hal yang pertama adalah permasalahan becak sebenarnya serupa dengan permasalahan motor yang dijadikan moda transportasi umum atau ojek. Dalam cakupannya becak secara aturan dinyatakan ilegal, hal ini tertuang pada Perda Nomor 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum pada Pasal 29 ayat 1 :
(1) Setiap orang atau badan dilarang:
a. melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya.
b.mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya.
c. mengusahakan kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagai sarana angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan.
Hal kedua adalah apakah dapat dirujuk sebuah kebijakan dikeluarkan hanya karena didasari kontrak politik? Sebagaimana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui bahwa rencana legalisasi merupakan bagian kontrak politik yang ia tandatangani. Seperti yang dikutip dalam portal berita Kompas.com :
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membenarkan bahwa penataan becak menjadi salah satu poin dalam kontrak politik yang dia tanda tangani. Dia bertekad untuk menepati janji tersebut. Â "Iya dong, kalau saya berjanji saya harus melunasi," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (17/1/2018).
Jika Anies dan Sandiaga benar-benar mempertimbangkan kontrak politik tersebut maka seharusnya mereka juga memikirkan imbas atau kemungkinan-kemungkinan dampak yang dapat terjadi akan rencana legalisasi becak termasuk overload-nya (tumbuh tak terkontrol) becak di wilayah Jakarta.Â
Keberadaan becak akan menambah kembali pekerjaan rumah Pemprov DKI dimana di pemerintahan sebelum-sebelumnya berusaha meminimalisir eksistensinya serta berusaha menanggulangi permasalahan kemacetan di Jakarta.
Hal ketiga, apa cukup rencana legalisasi becak hanya dikarenakan alasan (becak) ada berarti masyarakat masih membutuhkannya?Â
Benar, becak memang masih terlihat di beberapa wilayah terpencil di Jakarta namun bukankah transportasi umum lain yang jauh memadai juga masih tersedia seperti Bajaj BBG, ojek pangkalan/online, Mikrolet, dan lain-lain sebagainya?Â
Jika Pemprov DKI peduli seharusnya mereka berusaha untuk mengalihkan para tukang becak agar beralih ke bisnis transportasi lain, bukan malah membuat Jakarta mundur kebelakang.
Hal ke-empat, prihal legalisasi becak jangan menjadikan Pemprov DKI Jakarta gemar melabrak peraturan yang telah ada dan menganggap enteng dengan membuat atau mengganti peraturan dengan yang baru. Sebagaimana halnya dengan penataan Pasar Tanah Abang dengan memperbolehkan PKL berdagang di jalan. Dimana kebijakan tersebut hanya menimbulkan permasalahan baru dan dampak yang harus dihadapi para pengguna jalan.
Ada istilah "janji harus ditepati, janji dibawa mati" akan tetapi janji juga masih memerlukan nalar (akal sehat). Selaku pemimpin seharusnya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memikirkan baik-baik sesuatu hal sebelum memutuskannya, buat apa mereka berdua punya para ahli dan pakar yang menjadi bawahan mereka jika tidak dipergunakan dengan optimal.Â
Jakarta ini Ibukota, kota Metropolitan yang sangat luas dengan berjuta-juta jiwa berinteraksi didalamnya. Jangan karena ambisi semata, nasib masyarakat Jakarta dijadikan lahan bermain kebijakaan sesaat. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H