Kiranya warga Jakarta mana yang tidak mengenal kawasan Mangga Dua, suatu kawasan tepatnya berada di wilayah Jakarta Utara dimana hidup mitos "kepala naga" atau kawasan yang konon mampu membawa hoki dan berkembang di kalangan masyarakat Tionghoa. Menurut kabar yang pernah Penulis dengar, kawasan ini merupakan tempat perputaran uang yang besaran nilainya sangat fantastis mencapai triliunan Rupiah.
Dibalik mitos tersebut kawasan Mangga Dua memang tumbuh dan berkembang, berdiri kokoh bangunan-bangunan seperti mall, hotel, ruko, dan lain-lain seiring waktu. Selain itu kawasan Mangga Dua memiliki daya tarik diantaranya sebagai pusat barang-barang elektronik dan aneka grosir, tak mengherankan apabila tempat ini dijadikan lokasi tujuan favorit dan rujukan untuk membandingkan harga.
Dikala ada waktu sejenak Penulis menuju kawasan Mangga Dua yaitu mall dan harco Mangga Dua dengan maksud mencari barang guna keperluan fotografi kecil-kecilan, berpergian ke kawasan ini di akhir pekan cukup menguji kesabaran tatkala padatnya angkutan umum parkir liar di ruas jalan berkolaborasi dengan kendaraan bermotor yang tumpah ruah menuju Ancol. Alhasil waktu tempuh yang seharusnya singkat justru menguras tenaga, walau pada akhirnya sampai ke tempat tujuan.
Sesampainya disana, Penulis menyempatkan berkeliling selain mencari barang yang dimaksud berikut memperhatikan area sekitarnya. Dari pengamatan yang Penulis lakukan alangkah terkejut mendapatkan bahwa kawasan Mangga Dua kian sepi dari pengunjung. Dibandingkan beberapa tahun belakangan ini, kiranya terjadi pengurangan pengunjung yang sangat signifikan didasari oleh banyaknya gerai-gerai yang tutup. Penulis amati jumlah gerai yang tutup meluas tidak lagi hanya tertuju pada area pinggir mall bahkan kini sudah mencapai area utama. Tak memperdulikan kondisi bangunan yang ada, Penulis seperti merasa sedang bertamasya ke sebuah tempat yang di ambang sekarat.
Sepinya pengunjung serta begitu banyaknya gerai yang tutup disebuah lokasi sedikitnya mengindikasikan tingkat perekonomian lemah dimana daya beli masyarakat menurun sangat tajam. Anomali ini Penulis perhatikan pula terjadi pada bisnis properti yang lesu dimana di wilayah Jakarta saat ini begitu banyak sekali tanah maupun rumah yang dijual namun tak kunjung laku. Kembali kepada topik yang Penulis bahas, kita pun tidak dapat mempungkiri ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi (merujuk apa yang Penulis amati) baik kondisi Jakarta dan sikap masyarakat dimana jumlah pusat perekonomian seperti mall-mall megah tumbuh subur dan naik daunnya bisnis jual-beli online yang kian memanjakan pelanggannya.
Hal ini jelas sangat berpengaruh, lokasi yang dahulunya menjadi rujukan dan ramai dikunjungi lama-kelamaan ditinggalkan karena masyarakat kini punya alternatif tempat lebih banyak yang bisa dikunjungi. Kemudian maraknya bisnis jual-beli online mengubah cara pandang baik penjual maupun pembeli dari ranah pasar tradisional kepada modernisasi dimana tidak membutuhkan space yang luas, barang dan transaksi serba virtual, dan media jasa antar barang lebih berperan yang tentunya dapat efektif efisiennya biaya dan waktu.
Pada kesimpulannya entah apakah kawasan Mangga Dua "tergusur" karena berkembangnya zaman ataukah memang benar faktor pelemahan ekonomi punya andil lebih disini. Namun dibalik itu semua Penulis berharap semoga pemerintah sigap akan apa yang terjadi guna memperbaiki keadaan, konteksnya matinya pusat perekonomian maka akan berimbas kepada semakin banyaknya pihak yang kehilangan pekerjaan atau semakin minimnya lapangan pekerjaan. Apabila hal ini terus dibiarkan terjadi niscaya akan berdampak panjang dan semakin besar masalah yang akan dihadapi, tentunya hal ini tidak kita bersama harapkan terealisasi. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H