Ada kejadian menarik sewaktu saya transit di stasiun kereta api Zurich untuk melanjutkan perjalanan ke Roma. Waktu itu sekitar jam sembilan pagi saat kereta api express yang membawa saya dari Wina Austria tiba di Zurich. Di kota ini saya transit kurang lebih dua jam untuk kemudian pindah kereta menuju Italy Selatan.
Karena dari tadi berada terus dalam gerbong KA yang dingin, maka begitu turun di Zurich saya segera mencari toilet di dalam stasiun. Tidak mudah mencari toilet di Eropa ini, sampai-sampai saya bertanya ke beberapa orang barulah ketemu toilet dalam stasiun ini. Kali ini toiletnya tidak berupa gedung pertunjukkan seperti di Wina tetapi toilet biasa seperti di mal-mal di Indonesia. Bedanya toilet ini memakai semacam gerbang kecil untuk masuk ke dalamnya. Apabila kita sudah memasukkan koin maka kita bisa masuk dan menggunakan toilet tersebut. Karena toilet di Wina hanyabayar 0,70 euro maka maka saya siapkan koin 1 euro (kurs Rp. 16.000) untuk toilet. Wow, biaya pipis paling mahal bagi saya. Namun ternyata di Zurich biaya toiletnya lebih mahal lagi yakni 1,50 euro.
Ampuunn..!! Padahal saya hanya persiapkan sebuah koin pecahan 1 euro saja. Hmmm…masak saya harus tukar uang pecahan 50 sen untuk tambahan toilet? Tukar dimana dan kapan waktunya? Saya sudah kebelet banget. Bingung juga saya.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang hendak masuk toilet juga dan saya lihat dia memasukkan pecahan 1,50 euro dan terbukalah palang besi toilet itu. Sebelum masuk laki-laki ini sempat bertanya kepada saya apa masalahmu? Saya jawab saya mau masuk ke toilet tetapi tidak ada uang pecahan 50 sen, lalu dia hanya angkat bahu dan meninggalkan saya.
Hmm, ya weslah, batin saya pasrah. Selagi galau-galau gak jelas gitu tiba-tiba ada laki-laki kedua yang hendak ke toilet juga. Dia berhenti sejenak melihat saya dan bertanya persis seperti laki-laki pertama tadi. Saya jawab dengan jawaban sama, tidak punya pecahan 50 sen. Tanpa ragu ia lengsung mengulurkan kepada saya pecahan 50 sen sambil bilang, “It is for you, just take it!”
Aduh leganya, segera saya bilang thankyou kepada laki-laki baik hati tersebut. Sementara itu pria pertama yang tadi keluar dari toilet dan ketika melihat saya berbincang dengan pria kedua,. tiba-tiba dia datang lalu mengulurkan uang koin 50 sen untuk saya. Sayangnya saya sudah mendapat koin yang saya butuhkan jadi saya menolak dengan halus.
Kalau ingat peristiwa itu, kadang saya tersenyum sendiri. Kejadian itu seperti cermin bagi saya. Seringkali saya kalau melihat orang membutuhkan pertolongan saya cenderung memilih sikap laki-laki pertama yang cuma bertanya dan angkat bahu. Bahkan lebih parah lagi pura-pura tidak melihat kesulitan orang dan berpikir ah, bukan urusan gue. Kalaupun saya tolong, saya dapat apa?
Jadi kadang kebaikan yang saya lakukan mengisyaratkan imbalandan ketidakjujuran hati.Menolong orang lain segan dan lambat tetapi kalau ada bau-bau rejeki saya duluan yang cepat datang. Parahnya lagi apabila saya menerima katakanlah keberuntungan yang tak terduga, misalnya tiba-tiba menemukan kelebihan uang dalam hitungan pembukuan saya, menerima kelebihan transfer uang atau menerima pembayaran lebih dari klien dan saya diam-diam saja! Dahulu waktu mata saya belum melek, saya tidak pernah berpikir jauh tentang hal ini dan semua sisi tidak jujur itu saya nikmati saja. Lha, wong gak ada yang tau, kok. Tapi kini saya menyadari ternyata hukum alam bekerja dengan sempurna sebagaimana halnya hukum tabur tuai. Apa yang saya tabur entah itu kebaikan, pertolongan, ketulusan, empati, kegembiraan, pemberian, kemurahan hati, kejujuran akan kembali lagi kepada saya. Sementara jika saya menabur kebencian, iri hati terhadap orang lain, ketidakjujuran, pelit, ambil untung sebanyak-banyaknya, nyinyir dengan keberuntungan orang, memanipulasi kebaikan orang alias memanfaatkan kebaikan orang lain maka itu pula yang saya tuai.
Saya sendiri sudah ngalami banyak hal berkaitan hukum tabur tuai. Habis menyumbang panti asuhan eh tiba-tiba dalam beberapa hari saya malah mendapat rejeki yang saya butuhkan. Bahkan kegemaran saya menolong orang/ mau repot dengan kesulitan orang lain seringkali mendapat ganjaran manis tanpa saya harapkan. Misalnya mboncengin orang yang jalan kaki dengan motor tua saya lalu besok-besoknya saya ditolong orang waktu tersesat. Kadang balasan yang saya terima dari Sang Pemilik Kehidupan tidak selalu materi melainkan kemudahan, keberuntungan, keselamatan, kelancaran dalam segala urusan.
Intinya ketika saya berbuat baik tanpa embel-embel mengharapkan balasan, mau iklas dengan keadaan diri, mau bersyukur atas apa yang diterima, tidak irihati, tidak memanfaatkan kebaikan dan kepolosan orang lain maka jangan heran jika di depan kita terhampar banyak keberuntungan entah itu berupa materi ataupun berupa kebaikan jiwa yang lain.
Laki-laki kedua yang memberi saya uang koin tadi bisa jadi adalah orang yang dalam hidupnya selalu diberkahi sehingga iapun tidak sayang membagi berkatnya untuk orang lain. Saya yakin iapun akan menerima balasan dari kebaikannya itu.Sementara laki-laki pertama tadi enggan memberikan pertolongan karena (mungkin…mungkin lho…) ia berpikir gak ada untungnya menolong perempuan Asia yang lagi kebingungan seperti saya.
Walau begitu doa saya untuknya sih tetap mengharap yang baik….semoga saja ia tidak menuai apa yang ia tabur itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H