Mohon tunggu...
Bagus Santa Wardana
Bagus Santa Wardana Mohon Tunggu... -

Pejuang kecil yang selalu ingin jadi pemimpin besar. Belajar, berkarya dan berbuat yang terbaik..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KB di Dalam Pusaran Budaya Masyarakat Bali..

15 Maret 2016   14:27 Diperbarui: 15 Maret 2016   14:51 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bolehlah kita berucap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan multak, punya hak dan wewenang dalam menentukan arah dan kebijakan bangsa, seakan lupa Negeri kita yang indah terdiri dari bermacam suku, agama, adat dan budaya. Bayangkan saja keanekaragaman yang merupakan pembeda harus dibenturkan dengan suatu program yang sejatinya hanya mencari popularitas dan pencitraan semata, mungkin kah?

Tetapi masyarakat sebagai civil society berhak menolak jika aspek-aspek unsur budaya dan adat tidak sesuai di dalamnya.

Menghebohkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  Puan Maharani dalam kunjunganya ke Provinsi Bali beberapa waktu yang lalu, kunjungan Puan Maharani melontorakan pernyataan untuk kembali mengunakan program pembatasan anak di seluruh Indonesia, atau yang di sebut program berencana.

Program Pembatasan pertumbuhan Penduduk ini pernah di lakukan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, waktu itu program yang bernama Keluarga Berencana (KB) yang mana KB merupakan   program  nasional yang menjadi trend pembatasan pertumbuhan  jumlah penduduk di indonesia.

Pernyataan Puan Maharani seakan mengingatkan kita kembali akan konsep lahirnya program ini, yang mana ketika program ini di canangkan tidak sesuai dengna Kultur Budaya suatu daerah, jika hanya di lihat dari sisi ekonomi mungkin bisa bermanfaat, tapi jika di kaji dari aspek sosial dan budaya suatu daerah mungkin masih menjadi pertanyaan?

Seperti yang kita ketahui orang Bali turun temurun selalu mengatakan filosofi “ banyak anak banyak rejeki” yang sering dikatakan orang-orang tua jaman dulu, banyak anak banyak rejeki merupakan suatu arti bahwa orang bali tidak boleh putus dalam menambah tingkat pertumbuhan penduduknya sehingga dengan semakin banyaknya anggota keluarga di dalam satu keluarga dapat meringakan beban ekonomi nya.

Nama orang Bali sebenarnya diawali dengan mencirikan kasta wangsa atau urutan kelahiran dalam golongan sudra, menurut “sastra kanda pat sari” perbedaan anak sebagai penanda kelahiran :

1.      Wayan/putu/Gede sebagai anak pertama diambil dari kata wayah (tua), Putu  (cucu) dan Gede (besar), persamaan itu hanya menandakan ciri yang  dipakai di suatu wilayah.

2.      Kadek/Made sebagai anak kedua Kadek (adik), made (Madya=tengah), ini menandakan anak kedua.

3.      Komang/Nyoman anak ketiga bermakna sisa atau akhir.

4.      Ketut anak ke empat yang berarti mengikuti dan mengekor.

Dari konsep tersebut hendaknya dapat dipahami mengapa orang bali sangat nyaman dengan filosofi banyak anak banyak rejeki, mengamalkan konsep yang secara turun temurun yang diturunkan di jaman majapahit dan juga melestarikan konsep penamaan dalam “sastra Kanda pat” tersebut.

Ketika bu menteri hanya mengerti konsep ekonomi mungkin wacana mengamalkan program Keluarga berencana masih bisa terpolakan di daerah dengan tingkat kepadatan jumlah penduduk, sehingga menghambat perekonomian suatu daerah.

Dalam konsep ekonomi yang saya ketahui, penduduk itu merupakan salah 1 faktor produksi, yang mana semakin tinggi tingkat SDM suatu penduduk maka akan menjadikan perekonian daerah meningkat, demikian sebaliknya jika hanya pertumbuhan penduduk banyak tidak adanya SDM yang handal otomatis ini menjadi penghambat pembangunan seperti; penganguran, tingkat kriminal tinggi dan kemiskinan.

Perekonomian juga akan mencari jalannya, melalui filosofi semut “dimana ada gula pasti ada semut” konsep pertumbuhan penduduk yang tidak di imbangi dengan pemerataan pembangunan hanya dapat menambah masalah suatu daerah, filosofi tersebut menganalogikan bahwa semut yang di sebut sebagai masyarakat dan gula di ibaratkan sebagai kota yang kaya akan sumber penghasilan dan kehidupan dapat menjadi tempat mencari makan mereka.

Permasalahan ketidakmerataan penduduk ini sangat jarang dijadikan pembelajaran oleh pemerintah setempat, solusinya solusi pembangunan dan pemerataan menjadi kunci yang dapat memecahkan masalah.

Hemat penulis, sangat berat berupaya memadukan keadaan sosio kultural masyarakat Indonesia jika hanya melihat dari satu aspek keberagaman, jika secara secara spesifik tidak dapat memahami kondisi sosial, adat dan budaya suatu daerah.

 

salam,

Bagus Santa Wardana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun