Bolehlah kita berucap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan multak, punya hak dan wewenang dalam menentukan arah dan kebijakan bangsa, seakan lupa Negeri kita yang indah terdiri dari bermacam suku, agama, adat dan budaya. Bayangkan saja keanekaragaman yang merupakan pembeda harus dibenturkan dengan suatu program yang sejatinya hanya mencari popularitas dan pencitraan semata, mungkin kah?
Tetapi masyarakat sebagai civil society berhak menolak jika aspek-aspek unsur budaya dan adat tidak sesuai di dalamnya.
Menghebohkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dalam kunjunganya ke Provinsi Bali beberapa waktu yang lalu, kunjungan Puan Maharani melontorakan pernyataan untuk kembali mengunakan program pembatasan anak di seluruh Indonesia, atau yang di sebut program berencana.
Program Pembatasan pertumbuhan Penduduk ini pernah di lakukan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, waktu itu program yang bernama Keluarga Berencana (KB) yang mana KB merupakan program nasional yang menjadi trend pembatasan pertumbuhan jumlah penduduk di indonesia.
Pernyataan Puan Maharani seakan mengingatkan kita kembali akan konsep lahirnya program ini, yang mana ketika program ini di canangkan tidak sesuai dengna Kultur Budaya suatu daerah, jika hanya di lihat dari sisi ekonomi mungkin bisa bermanfaat, tapi jika di kaji dari aspek sosial dan budaya suatu daerah mungkin masih menjadi pertanyaan?
Seperti yang kita ketahui orang Bali turun temurun selalu mengatakan filosofi “ banyak anak banyak rejeki” yang sering dikatakan orang-orang tua jaman dulu, banyak anak banyak rejeki merupakan suatu arti bahwa orang bali tidak boleh putus dalam menambah tingkat pertumbuhan penduduknya sehingga dengan semakin banyaknya anggota keluarga di dalam satu keluarga dapat meringakan beban ekonomi nya.
Nama orang Bali sebenarnya diawali dengan mencirikan kasta wangsa atau urutan kelahiran dalam golongan sudra, menurut “sastra kanda pat sari” perbedaan anak sebagai penanda kelahiran :
1. Wayan/putu/Gede sebagai anak pertama diambil dari kata wayah (tua), Putu (cucu) dan Gede (besar), persamaan itu hanya menandakan ciri yang dipakai di suatu wilayah.
2. Kadek/Made sebagai anak kedua Kadek (adik), made (Madya=tengah), ini menandakan anak kedua.
3. Komang/Nyoman anak ketiga bermakna sisa atau akhir.
4. Ketut anak ke empat yang berarti mengikuti dan mengekor.