Mohon tunggu...
Sulung Siti Hanum
Sulung Siti Hanum Mohon Tunggu... -

seseorang yang selalu ingin terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruang untuk Anak yang Menyempit di Televisi

14 Juni 2010   09:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harta yang paling berharga, adalah keluarga

Istana yang paling indah, adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna, adalah keluarga

Mutiara tiada tara, adalah keluarga

Kutipan lagu di atas adalah soundtrack sinetron Keluarga Cemara. Ada yang masih ingat dengan sinetron yang digawangi oleh Arswendo Atmowiloto beberapa tahun silam? Ke mana tayangan unggulan seperti itu kini? Jujur, saya dibesarkan dengan tayangan seperti itu, tapi kini tayangan serupa menghilang. Ruang anak pun menyempit.

Media televisi telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Terbukti dari hampir di setiap rumah tersedia televisi. Dimulai dari televisi, anak-anak mulai belajar dan bertumbuh. Televisi menjadi jendela dunia bagi anak-anak. Hal itu diungkapkan langsung oleh Prof. Riris K. Toha Sarumpaet dalam Seminar “Tontonan Anak Indonesia”. Menurut saya, anak-anak sangat senang ketika disuguhi mainan. Mereka suka dengan bentuk dan warnanya. Akan tetapi, televisi dapat seketika mengalihkan perhatian mereka. Media audio-visual seperti televisi tersebut menawarkan nuansa berbeda. Layar yang penuh warna dan suara yang terkesan nyata sangat menarik perhatian anak-anak. Anak-anak usia balita menyukai televisi mungkin karena pola-pola warna dan gambar-gambar yang bergerak. Tanpa mempedulikan apa yang ditayangkan, anak usia balita itu dengan mudah tertarik dengan apa yang ada di depan mata mereka. Seperti ucapan Sapardi Djoko Damono dalam seminar “Tontonan Anak Indonesia” lagi, anak-anak akan mencari tontonan sendiri yang mereka sukai. Apa pun bentuk tayangan itu, selama itu menarik, maka anak-anak dengan sungguh-sungguh menikmatinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol dari orang tua.

Stasiun televisi itu memberikan pilihan dan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih siaran yang akan ditonton. Semua itu diserahkan kepada masyarakat bagaimana cara memilih, yaitu tayangan mana yang semestinya ditonton atau tayangan mana yang lebik menarik untuk dinikmati. Selain bacaan, menurut saya, tontonan menjadi sarana tumbuh kembang anak. Jika bacaan hanya menawarkan ruang visual, tontonan menawarkan ruang audio-visual yang memicu kepekaan dua indra sekaligus. Tontonan yang paling dekat dengan dunia anak adalah media televisi. Setiap pagi, siang, dan sore, program televisi tidak pernah berhenti. Program-program televisi yang beragam tentu saja tidak diperuntukkan sepenuhnya untuk anak-anak, apalagi saat ini, saya melihat porsi tontonan untuk anak mulai berkurang.

Anak Indonesia ‘miskin’ tontonan anak yang benar-benar diperuntukkan kepada mereka. Pernyataan itu sengaja saya utarakan setelah satu semester ini mengamati berbagai tayangan di televisi. Hal itu dapat dilihat dari jenis tayangan, jam tayang, tema, dan pengaruhnya terhadap anak. Hampir semua program televisi di setiap stasiun menayangkan program-program untuk dewasa. Artinya, program tersebut tidak layak ditonton oleh anak-anak.

Tontonan di televisi saat ini memang jarang yang ditujukan kepada anak-anak. Televisi didominasi oleh tayangan-tayangan seperti sinetron, infotainment, acara kriminal, dan reality show. Kartun pun tidak semuanya cocok untuk anak, seperti Naruto, Avatar, dan Crayon Sinchan yang menampilkan adegan kekerasan dan perkelahian. Arswendo Atmowiloto pernah mengungkapkan bahwa negara kita hanya mengenal bahasa kekerasan. Ungkapan Arswendo di dalam sebuah seminar “Tontonan Anak Indonesia”, 11 Mei 2010 lalu, itu sangat beralasan, karena tontonan masyarakat Indonesia saat ini sering disuguhi tayangan langsung tentang kekerasan, seperti adegan ibu memukul anaknya atau ucapan-ucapan kasar anak-anak SD terhadap sesamanya.

Tayangan yang cocok untuk anak-anak adalah tayangan yang penuh petualangan, tidak ada nasihat yang menggurui, dan jelas tokoh hitam dan putihnya. Petualangan disukai oleh anak-anak karena sesuai dengan imajinasi dan fantasi mereka. Anak-anak tidak dapat membedakan antara reliastik dan fantasi. Semua berbaur dalam imajinasi mereka. Untuk mengembanngkan imajinasi tersebut, butuh pemicu, salah satunya dengan tontonan anak yang sesuai. Selain itu, anak-anak tidak suka digurui. Mereka cukup banyak dapat nasihat-nasihat dari orang tua dan guru mereka di sekolah, sehingga mereka tak mau lagi tontonan di televisi pun ikut mennggurui mereka. Anak-anak itu berkembang dengan cara mereka. Lagi-lagi, kontrol orang tua juga sangat dibutuhkan.

Akibat semakin berkurangnya tayangan untuk anak di televisi, anak-anak pun mau tidak mau disuguhi tayangan porsi orang dewasa. Oleh sebab itu, banyak anak-anak sekarang yang dewasa lebih cepat. Saya tidak mengatakan bahwa tayangan tersebut merusak, tetapi saya lebih melihat kepada sisi pengaruh kuat yang dibawa oleh tayangan televisi tersebut terhadap prilaku dan pola pikir anak-anak. Tayangan sinetron di televisi juga menjadi tontonan bagi anak-anak. Saat ini, ada beberapa sinetron anak yang mulai diprogram oleh stasiun Televisi Paling Indonesia (TPI), seperti Nino Manusia Ikan, Akademi Anak Super, Komi Kubuka Kubuku, dan Si Mamat Anak Pasar Jangkrik. Beberapa di antara sinetron anak tersebut memasukkan unsur fantasi sebagai daya tarik sebagai tontonan anak. Unsur fantasi di dalam cerita tidak terlepas dari imajinasi anak-anak. Dunia anak yang selalu membayangkan hal-hal ajaib dan magis menjadi inspirasi untuk menggarap sebuah sinetron tersebut. Tentu saja seharusnya tayangan fantasi yang sesuai untuk anak-anak adalah fantasi yang memberikan aura positif dalam pertumbuhan mereka. Tayangan yang bersifat negatif justru akan merusak nilai-nilai positif yang telah dibangun.

Kisah-kisah dalam cerita anak tampaknya tidak dapat dipisahkan dari fantasi dan imajinasi. Akan tetapi, anak-anak juga butuh tayangan-tayangan yang sifatnya realistis. Menurut saya, realistis disini bukan berarti sepenuhnya menghilangkan unsur fantasi atau imajinasi dalam tayangan anak-anak. Akan tetapi, tontonan yang menanamkan nilai-nilai kehidupan seperti cara berteman, kasih sayang, hubungan antara anak dan orang tua menjadi sesuatu hal yang realismenurut saya.

Program-program yang disuguhi TPI patut dihargai. Usaha TPI dalam mengemas tontonan untuk anak dapat menjadi acuan untuk mengarahkan anak-anak kepada tontonan yang lebih baik. Mereka ingin menyediakan ruang yang lebih luas untuk anak-anak melalui tontonan. Akan tetapi, bukan berarti tayangan TPI itu tanpa kelemahan. Saya melihat ruang untuk tayangan anak semakin menyempit saja. Tontonan yang pas untuk anak pun sering dikelompokkan sebagai tayangan fantasi, yang efek-efek gambarnya terlihat dikemas dengan tidak menarik. Butuh inovasi baru untuk menggarap tayangan anak yang memang mendidik dan kaya nilai.

Selain TPI, ada pula Trans7 yang juga berusaha memberi ruang untuk anak-anak. Dengan tayangan seperti Si Bolang dan Laptop Si Unyil pada siang hari, anak-anak dapat menikmati acara yang dikemas khusus untuk mereka. Namun, orang tua mesti hadir mendampingi, karena bukan berarti tayanga tersebut benar-benar baik. Secara kemasan dan tujuan, Si Bolang dan Laptop Si Unyil memang program yang bagus karena memberikan pengetahuan untuk anak-anak. Dibalik itu semua, terselip adegan-adegan yang kurang cocok ditonton oleh anak-anak. Misalnya, pada Laptop Si Unyil, ada adegan yang mengajarkan anak-anak untuk tidak menjada kebersihan. Si Unyil mencicipi makanan yang baru matang dengan tangan yang belum dicuci. Begitu juga dengan Si Bolang. Ada adegan anak-anak yang sedang bermain di laut menangkap kepiting, lalu langsung merebusnya di pantai. Kemudian, tanpa memperhatikan kebersihan dan kesehatan, mereka langsung memakan hasil tangkapan mereka itu. Hal-hal kecil seperti di atas, sangat penting untuk diperhatikan mengingat anak-anak yang menjadi penonton utama.

Veven Sp Wardhana pernah mengungkapkan bahwa selama ini kita disuguhi berbagai tayangan yang minim sekaligus miskin wawasan. Hal itu terlihat dari kompetisi ketat yang dilakukan oleh stasiun televisi. Saya melihat, hampir semua program memiliki kecacatan.

Tayangan Komi Kubuka Kubuku sedikit berbeda dengan tayangan anak lain yang ada di TPI. Program tersebut adalah serial anak dengan menonjolkan unsur komedi. Serial ini termasuk program baru di TPI. Serial ini digarap dengan unsur komedi dan musikal untuk anak-anak.

Di dalam serial komedi anak ini, saya melihat ada nilai-nilai universal yang diangkat. Nilai-nilai itu berupa nilai persahabatan, pengetahuan, dan semangat untuk belajar. Sejauh yang saya tonton, serial ini memang mengangkat tema kehidupan anak sehari-hari. Bahasa yang mereka gunakan juga tidak terlalu berat, seolah menggambarkan potret dunia anak pada umumnya. Di setiap episodenya, serial komedi tersebut tidak mengarah pada budaya tertentu, tetapi mengangkat unsur pengetahuan dari berbagai daerah.

Kesederhanaan menjadi unsur lain yang diangkat di dalam serial tersebut. Hal ini ditunjukkan dari dialog dan permainan tokoh-tokohnya. Menurut saya, serial ini ditujukan untuk memberikan ajaran-ajaran moral kepada anak-anak. Tontonan anak yang lain lebih banyak memunculkan kesan kehidupan kaum menengah ke atas. Gaya hidup mewah sangat menonjol, seperti pada sinetron-sinetron yang ada di televisi saat ini, khususnya terlihat mencolok pada sinetron stripping (kejar tayang) di stasiun RCTI dan SCTV. Sinetron tersebut menjadi tontonan utama pada jam yang dapat dikatakan jam keluarga, yaitu berkisar antara pukul 18.00 hingga 22.00. Oleh karena itu, kesederhanaan itu muncul di dalam serial Komi Kubuka Kubuku ini. Itu yang menjadi akar hadirnya program tersebut untuk anak-anak.

Setelah pengamatan saya dalam satu semester ini terhadap tontonan anak, saya melihat program televisi untuk anak semakin berkurang. Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet pernah mengungkapkan bahwa 50-60 juta anak Indonesia dibesarkan oleh televisi yang menumpulkan imajinasi dan fantasi. Tidak salah apabila anak-anak menonton tayangan yang bukan untuk mereka, karena memang ruang untuk mereka semakin menyempit. Perhatian orang tua untuk membimbing anak menonton secara cerdas pun tidak ada. Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet kembali mengungkapkan di dalam makalah seminarnya, “Tontonan Anak Indonesia”, bahwa anak-anak Indonesia saat ini kurang disuguhi kisah mengenai sportmanship, kesungguhan, keluarga yang normal, kehidupan anak sebagai subjek, keragaman, dan pentingnya kepekaan. Kemudian, mereka juga tidak lagi disuguhi kisah-kisah mengenai Indonesia. Akhirnya, anak-anak itu dibiarkan menonton apa yang mereka suka, bukan menonton apa yang baik untuk mereka.

Sulung Siti Hanum

Sebuah Opini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun