Minyak Diesel manjadi bahan bakar yang sangat penting, secara global jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) diperkirakan mencapai 82,6 juta unit, dan secara umum saat ini jarang digunakan untuk kebutuhan skala besar namun hanya digunakan sebagai back-up generator. Biasanya jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sering digunakan untuk PLTD adalah HSD (High Speed Diesel), yaitu bahan bakar berbasis solar yang biasa digunakan untuk mesin diesel bertenaga tinggi, dengan kecepatan putaran diatas 1000 Rpm [1], yang juga digunakan untuk kendaraan angkutan berat atau heavy vehicles.Â
Di Indonesia PLTD secara umum digunakan untuk melistriki daerah terpencil dan terisolasi, dimana saat ini terdapat 5.200unit yang tersebar di 2.130 lokasi yang diperkirakan menghabiskan 2,7 juta kiloliter BBM atau setara dengan Rp16 triliun untuk mengoperasikan pembangkit-pembangkit diesel tersebut [2].Â
Saat ini dunia sedang menghadapi kelangkaan minyak diesel yang menyebabkan kenaikan harga yang sangat signifikan, karena berbagai faktor salah satunya kurangnya kapasitas kilang untuk memenuhi kebutuhan global ditambah akibat invasi Rusia ke Ukraina. Sehingga dibutuhkan skenario alternatif dalam strategi perencanaan energi primer untuk menjaga ketahanan energi. Tiap tiap negara memiliki pendekatan yang berbeda untuk menjaga ketersediaan energinya karena berkaitan dengan kondisi geografisnya serta potensi sumber energi yang dimiliki.
Berikut ini adalah beberapa gambaran strategi yang dilakukan sejumlah negara untuk mengatasi Diesel shortage.
Eropa merupakan kawasan yang memiliki ketergantungan terhadap minyak diesel yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Diperkirakan membutuhkan sekitar 500 juta barrels setiap tahunnya khususnya untuk keperluan heating system selama musim dingin [4]. Sehingga mereka membuat perencanaan penyediaan energi jangka pendek untuk mengatasi kekurangan pasokan energi primer diantaranya dengan mempercepat peningkatan kapasitas energi terbarukan di seluruh Kawasan Eropa.
Sebagai contoh Swedia yang saat ini hampir 60% dari total produksi energi berasal dari hydropower atau PLTA dan Biomassa yang paling berkontribusi terhadap bauran energi negara tersebut [8], PLTA digunakan sebagai sumber utama penyediaan listrik sementara Bioenergy dan Biomass digunakan untuk heating system. Sementara penggunaan fossil fuels hanya sekitar 1%, dan sisanya berasal dari PLTN.Â
Sejumlah negara berencana untuk memperpanjang waktu pengoperasian PLTU Batubara dan PLTN. Salah satunya Jerman yang saat ini sedang memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk pengangkutan batubara, yang selanjutnya akan digunakan untuk mengoperasikan kembali PLTU Batubara [6] dalam rangka menjaga energy securitynya, namun mereka berkomitmen untuk tetap memperhatikan transisi energi dan climate goals. Sebagai upaya menjaga keseimbangan antara energy security, affordability dan upaya dekarbonisasi dilakukan dengan fokus pada peningkatan energy efficiency melalui penurunan intensitas penggunaan energi fosil. Mereka beranggapan dengan menurunnya permintaan BBM akibat kekurangan pasokan ini akan menjadi momentum untuk menjalankan transisi energi [3].
Sementara sektor transportasi juga mengalami dampak dari kelangkaan dan kenaikan harga BBM yang juga berimbas terhadap industri supply chain nya. Salah satu perusahaan di Jerman SKW Piesteritz seperti dilansir Forbes terpaksa menghentikan produksi AdBlue atau Diesel Exhaust Fluid (DEF) yang selama ini digunakan sebagai campuran minyak diesel untuk memenuhi batasan emisi yang berlaku di Eropa. European energi council menyampaikan beberapa alternatif pengganti minyak diesel untuk sektor transportasi mulai dengan mengembangkan penggunaan LPG untuk moda transportasi jarak jauh dan angkutan barang, serta mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk moda transportasi jarak dekat.Â
Selain itu penggunaan green hydrogen juga mulai dikembangkan untuk menggantikan BBM untuk pesawat terbang maupun kapal laut. Selain itu pemilihan moda transportasi untuk angkutan barang dalam jumlah besar juga dipertimbangkan, dengan pemilihan moda transportasi yang berbasis rel karena dinilai lebih ekonomis serta ramah lingkungan jika dibanding dengan moda transportasi darat lainnya [14].
Sementara di Amerika juga mengalami peningkatan kebutuhan energi pada periode musim dingin dimana untuk heating system mereka sangat bergantung dari Natural Gas. Produksi listrik di U.S sampai dengan September 2022, sebagian besar berasal dari Natural Gas. Berdasarkan data U.S Energy Information Administration (EIA) bauran energi untuk penyediaan listrik dinegara tersebut berasal dari PLTG 36,98%, PLTN 20,87%, PLTU Batubara 20,31%, proporsi energi terbarukan (PLTB, PLTA, PLTS) sebanyak 21,6% dan PLTD 0,18% [15]. Sementara untuk short term plan penyediaan tenaga listrik tahun 2023 mereka membuat perencanaan dengan menambah proporsi energi terbarukan diikuti penurunan proporsi Natural Gas menjadi 29,1%, sementara PLTU Batubara turun menjadi 15,1%, PLTN turun menjadi 15,4%, dan energi terbarukan (PLTB, PLTS, Biomass, PLTP, PLTA) mengalami kenaikan hingga mencapai 42% [16].Â
Berdasarkan laporan Reuters, pemerintah U.S melalui the U.S Environmental Protection Agency juga membuat skenario jangka pendek dengan meningkatkan kapasitas produksi ethanol yang berasal dari jagung atau corn-based ethanol maupun jenis biofuels lainnya. Selanjutnya otoritas tersebut membuat kebijakan untuk melakukan pencampuran pada oil refiners atau kilang minyak sampai tiga tahun kedepan [5]. Dengan ketentuan pencampuran yaitu 20,82 miliar galon pada tahun 2023, 21,87 miliar galon pada tahun 2024 dan 22,68 miliar galon pada tahun 2025. Kebijakan lainnya adalah pemanfaatan energi listrik untuk sektor transportasi, harus berasal dari sumber energi terbarukan dengan mendorong penggunaan Biogas methane yang berasal dari lahan pembuangan sampah.
Untungnya ditengah tengah kenaikan harga energi, negara negara dikawasan tropis tidak mengalami lonjakan kebutuhan energi akibat pengaruh cuaca seperti kedua kawasan diatas, sehingga fokusnya hanya untuk pemenuhan penyediaan tenaga listrik dan transportasi. Berikut ini bisa kita lihat kondisi penyediaan energi di negara negara dikawasan Asia Tenggara. Saat ini suplai tenaga listrik diMalaysia didominasi oleh PLTU Batubara dengan proporsi sekitar 44,5% dan PLTG 38,6%, sementara PLTA menyumbang sekitar 15,3%, dan energi terbarukan menyumbang sekitar 21,5% dari total penyediaan listrik.Â
Pada tanggal 19 September 2022, Malaysia baru saja menetapkan Kebijakan Energi Nasional nya untuk periode 2022 hingga 2040, dimana Malaysia memiliki target untuk mencapai low carbon emission pada tahun 2040, dengan meningkatkan kapasitas terpasang energi terbarukan dari 7,6 GW di tahun 2018 menjadi 18,4 GW pada tahun 2040, sekaligus mengurangi proporsi PLTU Batubara dari 31,4% menjadi 18,6% untuk mencapai target energi terbarukan sebesar 17% dari total bauran energi nasionalnya.Â
Sehingga perencanaan energi primer kedepan dinegara ini terdiri dari Natural Gas 39%, Batubara 17%, PLTA 9%, PLTS 4% dan bioenergy 4%, sedangkan untuk kebijakan sektor transportasi pemerintah Malaysia menargetkan peningkatan penggunaan Liquefied Natural Gas (LNG), sebagai alternatif bahan bakar untuk transportasi laut [10]. Berdasarkan kebijakan energi nasionalnya Malaysia akan meninggalkan sepenuhnya BBM dalam 10 sampai 20 tahun mendatang, sedangkan proporsi BBM saat ini mencapai 30%.
Bagaimana dengan Filipina, sampai dengan akhir tahun 2021 produksi listrik di negara ini mencapai 103, 448 GWh yang berasal dari sejumlah pembangkit listrik diantaranya PLTU 57.5%, PLT EBT 23,4%, PLTG 17,7% dan PLTD 1,4%. Filipina juga memiliki battery energy storage system (BESS), dengan kapasitas terpasang sebesar 11 MW [11]. Sementara itu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan moratorium PLTU sejak 22 Desember 2020, dan berdasarkan skenario perencanaan energi yang tertuang dalam Philipine Energy Plan 2020 -- 2040 proporsi Batubara dalam pembangkit tenaga listrik akan mengalami penurunan dari 57% di tahun 2020 menjadi 24,6% di tahun 2040, dan proporsi Gas diperkirakan akan menggantikan dominasi Batubara sehingga proporsinya meningkat dari 20% ditahun 2020 menjadi 40% ditahun 2040, energi terbarukan diperkirakan mencapai 35% ditahun 2030 dengan proporsi PLTS mencapai 15%, PLTA 14%, PLTP 4,4%, dan PLTB sekitar 1,4%,sementara proporsi Biomass kurang dari 1%. Selanjutnya untuk target bauran energi terbarukan pada tahun 2040 diperkirakan akan mencapai 50%. Filipina juga menetapkan target penetrasi bahan bakar alternatif untuk sektor transportasi seperti penggunaan kendaraan listrik maupun hybrid, serta penggunaan natural gas dan Biofuels. Sementara untuk transportasi angkutan barang Filipina telah melihat potensi Hydrogen sebagai alternatif, dengan studi telah dilakukan sejak November 2020 sampai Februari 2021 dengan perkiraan 10% penetration rate dari Hydrogen akan menggantikan bahan bakar minyak.
Sementara di Indonesia, sampai September 2022 proporsi bauran energi primer di Indonesia untuk pembangkit tenaga listrik adalah sebagai berikut, Batubara sekitar 66,86%, Gas 16,75%, PLTA 7,05%, PLTP 5,44%, BBM sekitar 3,46%, Biomassa menyumbang sebanyak 0,3% dan PLT Lain menyumbang proporsi sebanyak 0,14% [17]. Secara umum pengaturan energi primer yang menjadi prioritas dalam pengoperasian pembangkit di Indonesia berdasarkan keekonomiannya untuk kemudian didispatch ke jaringan sistem tenaga listrik adalah PLTU Batubara, PLTA, PLTG baru setelah itu PLTD atau Pembangkit Listrik berbahan bakar minyak. Pengoperasian PLTD menjadi opsi teakhir atau hanya saat emergency, sehingga bisa dipastikan stock HSD yang menopang pembangkit besar relatif aman. Untuk skenario pengaturan energi primer jangka panjang berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030, komposisi energi primer untuk penyediaan tenaga listrik tahun 2030 akan mengalami transfomasi, hal ini ditandai kenaikan proporsi PLT EBT mencapai 51,6% (PLTA 25,6%, PLTB 1,5%, PLT Bio 1,5%, PLTP 8,3%, PLTS 11,5%, PLT Lain 2,5%, BESS 0,7%). Selanjutnya PLTU akan menymbang proporsi sekitar 34%, PLTG 14,4% dan PLTD hanya 0,01%. Secara bertahap pemerintah mendorong penggantian BBM baik untuk penyediaan tenaga listrik maupun untuk sektor transportasi dengan menggunakan bahan bakar nabati. Selain itu pemerintah juga mendorong penggunaan secara massif kendaraan listrik [13], dengan memberikan dukungan pengembangan charging station yang merupakan infrastruktur utama kendaraan listrik.Â
Dapat disimpulkan bahwa disrupsi ketersediaan BBM memberikan dampak hampir kesemua negara didunia, dan masing masing negara menerapkan strategi untuk tidak lagi begantung pada BBM terutama pada sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Untuk penyediaan listrik secara umum hampir semua negara yang menjadi referensi diatas menyiapkan strategi jangka panjang dengan sedikit demi sedikit mengurangi proporsi energi fosil dan beralih dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan diwilayahnya. Sedangkan untuk strategi jangka pendek untuk penyediaan tenaga listrik hampir semua negara mulai menginggalkan pembangkit listrik berbasis BBM dengan beralih menggunakan sumber energi primer dari Natural Gas maupun Batubara. Sementara untuk PLTD existing penggunaan HSD bisa dikurangi dengan melakukan pencampuran secara bertahap dengan bahan bakar nabati atau mengganti sepenuhnya dengan Biofuels tersebut.
Sementara untuk sektor transportasi, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk menghadapi kelangkaan BBM. Mulai dari pengaturan dan pemilihan jenis moda transportasi yang digunakan contohnya untuk kendaraan angkutan barang atau heavy vehicles untuk transportasi darat jarak jauh untuk lebih memprioritaskan penggunaan moda transportasi berbasis rel, sementara untuk transportasi darat jarak dekat didorong untuk penggunaan kendaraan listrik. Adapun energi alternatif yang bisa digunakan untuk mengganti BBM pada transportasi laut yaitu dengan penggunaan LPG maupun Hydrogen, sedangkan untuk transportasi udara Hydrogen juga di proyeksikan dapat menggantikan BBM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H