Mohon tunggu...
S.Cinthadiliaga
S.Cinthadiliaga Mohon Tunggu... Penulis - Energy Enthusiast

Saya sangat tertarik dengan isu isu terkini terkait energi, termasuk energy transition, renewable energy, energy literacy, energy poverty dll, saya juga tertarik belajar tentang psikologi,dan mental health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Ammonia Co-Firing Study di Beberapa Negara Termasuk Indonesia

30 September 2022   21:33 Diperbarui: 30 September 2022   21:36 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Co-firing untuk PLTU

Pembangkit listrik berbahan bakar Batubara menimbulkan masalah lingkungan karena menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah yang besar, dan salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan melakukan konversi ke bahan bakar lain. Pembangkit listrik tenaga Batubara co-firing merupakan alternatif yang bisa diaplikasikan, Co-firing mengacu pada pembakaran dua atau lebih bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Co-firing telah lama dilakukan melalui penggunaan Biomassa sebagai pengganti langsung Batubara yang juga mudah terbakar dan dapat diproses ke dalam hampir semua type burner, tetapi masalahnya adalah stok bahan baku Biomassa sangat terbatas. Seperti kita ketahui bersama, pembangkit listrik tenaga Batubara adalah pembangkit listrik di mana uap sebagai pernggerak utamanya. Dimana Batubara bubuk ditiupkan ke dalam ruang bakar boiler sebagai bahan bakar. Cara kerja sistem pembakaran menggunakan bahan bakar bubuk adalah dengan menggunakan seluruh volume tungku untuk pembakaran bahan bakar padat, dimana untuk memastikan efisiensi yang lebih tinggi dari generator uap, biasanya campuran Batubara bubuk dan udara ditiupkan ke burner. Pertama, Batubara digiling hingga halus (semakin halus penggilingan Batubara, semakin efisien hasil pembakarannya, yang hampir sama efisiensinya dengan bahan bakar gas), kemudian dicampur dengan udara dan dibakar dalam aliran gas[1]. Pada tahap ini, Biomassa dan bahan lainnya juga dapat ditambahkan ke dalam campuran, Batubara mengandung mineral yang diubah menjadi abu selama pembakaran. Panas akibat proses pembakaran ini digunakan untuk memanaskan air sehingga menghasilkan uap dengan suhu dan tekanan yang tinggi, yang akan memutar turbin dan menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik.

Ammonia sebagai bahan bakar (Mono/Co-firing Ammonia)

Ammonia diperkirakan sebagai metode pembawa energi (Energy Carrier) yang baik untuk digunakan pada pembangkit listrik, dengan opsi untuk digunakan secara langsung (mono-firing) atau sebagai campuran bahan bakar (co-firing) di pembangkit listrik tenaga Batubara [2]. Potensi penggunaan Ammonia untuk menghasilkan listrik sangat menarik, karena Ammonia tidak mengeluarkan karbon dioksida (CO) ketika dibakar [3], dan diharapkan menjadi bahan bakar generasi berikutnya yang berkontribusi pada dekarbonisasi sistem tenaga listrik. Pada penggunaan Ammonia umumnya dilakukan proses denitrifikasi terlebih dahulu untuk mengurangi konsentrasi NOx yang dihasilkan selama pembakaran untuk memenuhi standar lingkungan pada pembangkit listrik. Ammonia cair biasanya disimpan dalam tangki, setelah itu digaskan melalui alat penguap, dan dikirim ke perangkat denitrifikasi gas buang yang terdapat dalam boiler. Sebuah cabang saluran pipa Ammonia dipasang menuju boiler untuk co-firing. Kemudian pipa bahan bakar dan pipa Ammonia terhubung kedalam boiler untuk sama sama digunakan sebagai suppy bahan bakar. Kemungkinan untuk menggunakan Ammonia sebagai bahan bakar rendah karbon pada pembangkit listrik termal memberikan alternatif tambahan untuk dekarbonisasi sektor pembangkit listrik, karena dengan strategi ini memungkinkan untuk tetap menggunakan pembangkit listrik yang ada, sambil mempertahankan keandalan jaringan dan sekaligus menurunkan intensitas emisi karbon pada pembangkit listrik tersebut [4].

Studi Co-firing Ammonia yang diinisiasi oleh Perusahaan Jepang.

Sebagai negara kepulauan yang rawan terjadi bencana gempa bumi, Jepang memiliki keterbatasan ruang untuk pembangkit listrik tenaga angin dan surya, dan juga karena lokasinya yang dikelilingi oleh lautan dalam menyebabkan kesulitan untuk mengimpor listrik melalui jaringan kabel laut [5]. Ketergantungan pada Batu bara dan gas sebagai bahan bakar pembangkit listrik semakin meningkat sejak Jepang mengalami bencana Fukushima pada tahun 2011, yang membuat berhentinya pembangkit listrik tenaga nuklir yang juga menyebabkan terjadinya krisis energi [6]. Bagi Jepang, potensi penggunaan Ammonia untuk menghasilkan listrik sangat menarik, dimana saat ini pengembangan teknologi sedang berlangsung untuk pembangkit listrik dengan menggunakan campuran bahan bakar Ammonia di pembangkit listrik tenaga Batubara sebagai salah satu inovasi dan juga sebagai upaya untuk memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga Batubara sekaligus menurunkan emisi CO2 dalam rangka mencapai Net Zero emission pada tahun 2050.

Pada bulan Januari 2017, Central Research Institute Electric Power Industry (CRIEPI) mengungkapkan data teknis hasil studi co-firing. Percobaan ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh penggunaan Ammonia terhadap konsentrasi NOx pada gas buang yang dihasilkan dari proses pencampuran dengan bahan bakar Batubara bubuk yang digunakan di salah satu pembangkit listrik tenaga Batubara di Jepang. Pengujian dilakukan didalam burner, dimana Ammonia diinjeksikan ke dalam jalur aliran Batubara bubuk. Ketika Ammonia disuntikkan ke dalam tungku pembakaran bersama Batubara bubuk ternyata tidak meningkatkan konsentrasi NOx dan N2O yang signifikan dalam gas buang. Pada tahun yang sama, Pembangkit Listrik Mizushima milik Chugoku Electric Power Co., Inc salah satu perusahaan listrik Jepang dengan kapasitas 120 MW telah berhasil mendemonstrasikan pencampuran Ammonia dan Batubara, dengan proporsi sebesar 1% Ammonia dari total bahan bakar yang digunakan dan merupakan yang pertama di dunia. Dengan jumlah Ammonia yang dicampurkan adalah 444 kg/jam, dimana targetnya adalah 450 kg/jam dan didapat total output listrik sebesar 154,6 MW, sehingga dengan proporsi co-firing menggunakan Ammonia diasumsikan hanya menghasilkan output listrik sekitar 1MW [5].

New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) yang merupakan organisasi research dan development milik pemerintah Jepang telah mengembangkan studi kelayakan co-firing Ammonia di pembangkit listrik Batubara secara komersial yang merupakan hasil kerja sama antara JERA (Perusahaan utility terbesar diJepang), IHI (perusahaan Heavy Industry di Jepang) dan Marubeni Corp (yang juga investor dibeberapa pembangkit di Indonesia) dengan tujuan untuk mempopulerkan 20% co-firing Ammonia pada pembangkit listrik termal. Pada tahun 2020, JERA mengumumkan penghentian secara bertahap dari 24 pembangkit listrik tenaga Batubara termal yang tidak efisien sambil berusaha untuk secara bertahap mengalihkan pembangkit listrik tenaga Batubara termal ultra-super critical (USC) nya ke pembangkit listrik tenaga Ammonia dan Hidrogen. JERA, juga bekerjasama dengan Chubu electric dan TEPCO, berencana untuk memulai program percontohan untuk menggunakan Ammonia Co-firing dengan Batubara skala besar di pembangkit listrik thermal Hekinan di Jepang pada tahun 2030 dan berharap dapat mencapai proporsi 20% dari penggunaan Ammonia di semua pembangkit listrik tenaga Batubara pada tahun 2035 [7].

JERA juga mulai mengembangkan co-firing Ammonia untuk pembangkit listrik tenaga Batubara dan gas di beberapa negara. Pada bulan Maret 2022, IHI dan perusahaan utilitas di India Adani Power menandatangani perjanjian untuk bersama-sama melakukan studi penggunaan 20% co-firing Ammonia untuk pembangkit Batubara dengan kapasitas 4.62GW. Adani yang memiliki pembangkit listrik berbahan bakar Batubara di Mundra bermaksud untuk melakukan co-firing Ammonia terlebih dahulu dan akan beralih ke pembangkit listrik berbahan bakar Ammonia pembakaran tunggal mono-firing setelah nya. Dimana India yang merupakan konsumen energi terbesar ketiga di dunia memiliki target untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2070, dan berencana untuk menggunakan Hidrogen dan Ammonia pada pembangkit listrik thermal dalam rangka untuk menjaga keamanan pasokan energi listriknya [8]. Pada bulan april 2022, IHI juga telah memulai kerjasama dengan Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) di Gresik Jawa Timur untuk mengembangkan teknologi co-firing Ammonia di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) minyak yang selama ini hanya dioperasikan untuk keperluan emergency atau back-up saja [9], dan juga berencana untuk melakukan studi serupa di PLTU Suralaya, sementara pasokan Ammonia diperoleh dari perusahaan pupuk (PT. Pupuk Indonesia) yang tidak jauh dari lokasi pembangkit. Sementara pada Agustus di tahun ini juga anak perusahaan JERA, Jera Asia dan Jurong Port (operator pelabuhan Singapura) menandatangani kesepakatan bersama dengan perusahaan engineering Jepang Mitsubishi Heavy Industries Asia Pacific (MHIAP) untuk bersama-sama melakukan study terhadap pembangkit listrik yang 100% akan menggunakan bahan bakar Ammonia, dan juga berencana untuk mengembangkan pembangkit listrik berbahan bakar Ammonia 100% pada PLTG combine cycle berkapasitas 60MW di pulau Jurong Singapura [10].

Sebagai kesimpulan, penggunaan Ammonia sebagai bahan bakar saat ini sangat dimungkinkan, namun penggunaan dalam pembangkit listrik dengan kapasitas yang lebih besar dan  beroperasi secara kontinyu atau bukan sebagai pembangkit cadangan yang hanya dioperasiakan pada saat kondisi darurat, masih sangat dipertanyakan. Dengan berbagai pertimbangan diantaranya bahwa pencampurannya dengan bahan bakar Batubara dinilai masih tidak efisien, karena Co-firing Ammonia saat ini baru mencapai kurang dari 20% dari total bahan bakar yang digunakan, hal ini sangatlah tidak kompetitif. dan juga karena belum terbukti berhasil digunakan pada skala besar [7] yang sebabkan karena beberapa permasalahan. Pertama, kemampuan untuk terbakar (kecepatan pembakaran) yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil, membuat bahan bakar Ammonia membutuhkan bahan bakar lain seperti solar untuk digunakan sebagai pengapian awal. Namun, kedepan Hidrogen yang dilepaskan dari proses produksi Ammonia dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengganti kebutuhan sumber bahan bakar sekunder [11]. Kedua, ketika menggunakan Ammonia pada pembangkit listrik termal existing, ada beberapa masalah yang mungkin muncul seperti kurangnya lahan untuk penempatan fasilitas baru termasuk tangki penyimpanan dan fasilitas regasifikasi, serta membutuhkan biaya investasi awal yang besar [3].

Selain itu Recharge juga mengkritisi ketidak effisiensian dalam penggunaan Ammonia dan menganggap rencana Jepang mengembangkan Ammonia sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik Batubara adalah sangat mahal dan kotor [12], dimana dibutuhkan energi sebesar 14,38 megawatt-hour (MWh) untuk menghasilkan satu metrik ton Green Ammonia, yang artinya membakar energi 14,38 megawatt-jam hanya untuk menghasilkan 5,16 MWh listrik --- atau hanya menghasilkan sepertiga dari energi yang diperlukan untuk membuatnya. Dengan kata lain menggunakan Ammonia dengan proporsi tersebut pada pembangkit listrik tenaga Batubara, akan menurunkan hasil energinya lebih jauh lagi menjadi 1,96 MWh, menjadikannya co-firing merupakan metode yang saat ini masih sangat tidak efisien untuk menghasilkan listrik dan lebih cocok digunakan untuk dekarbinisasi industri pupuk yang selama ini bukan berasal dari Green Ammonia. Kemudian untuk Ammonia berbasis fosil dengan CCS/CCUS, yang dikenal sebagai Blue Ammonia tidak dapat dianggap sebagai sumber energi rendah karbon karena CCUS yang dimanfaatkan untuk EOR (Enhance oil recovery) hanya akan meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil dan memperpanjang rantai karbon yang tidak dapat dinilai sebagai cara yang memadai sebagai alternatif untuk memperpanjang umur pembangkit listrik Batubara [7]. Terakhir, meskipun Ammonia tidak mengeluarkan karbon selama pembakaran, perlu memperhatikan emisi Nitrous Oxide (Nox) karena Ammonia merupakan bahan kimia yang terdiri dari nitrogen yang menghasilkan emisi NOx yang mungkin bisa lebih tinggi (dimana emisi NOx adalah gas rumah kaca 298 kali lebih kuat daripada CO2), jika tidak dilakukan treatment / capture terlebih dahulu sebelum dilepaskan ke athmosphere.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun