Mohon tunggu...
Khairunnisa Al Araf
Khairunnisa Al Araf Mohon Tunggu... Freelancer - Host-Writer Freelancer

Hi, saya Khairunnisa Al-Araf Suka banget nulis, ngobrol, dan berbagi cerita tentang hal-hal seru seputar komunikasi, media, dan dunia kreatif. Dengan latar belakang di Ilmu Komunikasi, saya selalu excited explore berbagai topik, mulai dari tips komunikasi yang praktis sampai ngobrolin tren media yang lagi hype. Hobi saya juga suka banget nulis dan cerita tentang pengalaman yang bisa inspire orang, atau kadang cuma sekedar share hal-hal yang lagi viral. Di Kompasiana, saya ingin berbagi konten yang bisa relate dengan kehidupan sehari-hari dan tentunya penuh dengan ide-ide baru yang pastinya menarik buat dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gwangju Uprising: dari Tragedi Berdarah ke Ketegangan Politik yang Tak Kunjung Reda di Korea Selatan

4 Desember 2024   11:00 Diperbarui: 4 Desember 2024   11:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: CNN Indonesia

Pada 3 Desember 2024, Korea Selatan dikejutkan dengan pengumuman darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol. Tindakan yang memicu kekacauan politik tersebut mengingatkan kita pada sebuah momen kelam dalam sejarah Korea Selatan: Tragedi Gwangju 1980, yang hingga kini masih meninggalkan bekas mendalam pada politik dan kehidupan sosial Korea Selatan. 

Jejak Tragedi dalam Sejarah 

Gwangju Uprising bukan hanya sebuah peristiwa berdarah; ia adalah titik balik dalam sejarah Korea Selatan. Pada bulan Mei 1980, di tengah ketegangan politik pasca-rezim militer Park Chung-hee, warga Gwangju bangkit melawan pemerintahan yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan, seorang jenderal yang merebut kekuasaan melalui kudeta. Pemberontakan yang dimulai sebagai protes terhadap penutupan universitas dan penguatan kontrol militer itu berakhir dengan pembantaian brutal. Militer yang diturunkan untuk meredam protes akhirnya menggempur kota dengan kekerasan, menewaskan ratusan warga sipil.

Nama-nama seperti Kim Dae-jung, tokoh yang kemudian menjadi Presiden Korea Selatan, dan banyak lainnya menjadi simbol perjuangan warga Gwangju. Hingga kini, peristiwa ini terus digali dan dibicarakan dalam konteks ketegangan politik yang tak kunjung reda.

Tragedi Berdarah: Kekuatan Militer vs. Warga Sipil

Sumber foto: Asia Society
Sumber foto: Asia Society

Apa yang terjadi di Gwangju pada tahun 1980 bukan hanya sebuah pemberontakan; itu adalah bentrokan antara kekuatan militer yang brutal dan warga sipil yang menuntut hak-haknya. Militer yang dipimpin oleh Chun Doo-hwan menanggapi pemberontakan dengan tindakan kekerasan yang mengerikan. Tembakan ke arah demonstran tak terhindarkan, sementara media internasional turut mengangkat tragedi ini ke panggung dunia, meskipun saat itu banyak media Korea Selatan yang dibungkam.

Sementara itu, militer juga mengeksploitasi retorika anti-komunis, menyebut pemberontakan ini sebagai bagian dari ancaman yang lebih besar terhadap tatanan negara. Salah satu alasan mengapa Gwangju menjadi titik yang sangat sensitif dalam politik Korea Selatan adalah karena tragedi ini masih sering disangkutpautkan dengan kebijakan pemerintah yang terus mengontrol narasi sejarah.

Menghubungkan Masa Lalu dan Ketegangan Politik Sekarang

Sumber foto: Gelora News
Sumber foto: Gelora News

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun