Mohon tunggu...
Khairunnisa Al Araf
Khairunnisa Al Araf Mohon Tunggu... Freelancer - Host-Writer Freelancer

Hi, saya Khairunnisa Al-Araf Suka banget nulis, ngobrol, dan berbagi cerita tentang hal-hal seru seputar komunikasi, media, dan dunia kreatif. Dengan latar belakang di Ilmu Komunikasi, saya selalu excited explore berbagai topik, mulai dari tips komunikasi yang praktis sampai ngobrolin tren media yang lagi hype. Hobi saya juga suka banget nulis dan cerita tentang pengalaman yang bisa inspire orang, atau kadang cuma sekedar share hal-hal yang lagi viral. Di Kompasiana, saya ingin berbagi konten yang bisa relate dengan kehidupan sehari-hari dan tentunya penuh dengan ide-ide baru yang pastinya menarik buat dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dari Opinion Leader ke Endorsement: Polarisasi Politik dan Perubahan Komunikasi Publik

3 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 3 Desember 2024   13:02 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA

Endorsement sering kali menggantikan argumentasi berbasis kebijakan dengan dukungan emosional atau pragmatis. Banyak pemilih kini lebih dipengaruhi oleh siapa yang mendukung suatu kandidat, bukan oleh ide atau program politik yang ditawarkan. Ini menciptakan pemilih yang lebih terpolarisasi dan cenderung memilih calon berdasarkan afiliasi pribadi atau partisan, alih-alih evaluasi rasional terhadap kebijakan.

Perubahan dalam Penggunaan Media Sosial dan Peran Influencer

Salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan dalam perubahan komunikasi politik adalah peran media sosial dan influencer. Di era digital ini, media sosial telah menjadi arena utama untuk berkomunikasi dan mempengaruhi publik. Influencer, dengan pengikut mereka yang sangat besar, kini memiliki pengaruh yang lebih besar daripada opinion leader tradisional. Mereka tidak hanya mengubah cara berkomunikasi, tetapi juga menciptakan narasi politik yang lebih personal dan terkadang dramatis, yang mampu memperburuk polarisasi.

Sebagai contoh, influencer sering menggunakan gaya komunikasi yang lebih terbuka dan mudah diterima masyarakat, menjadikan mereka lebih efektif dalam memobilisasi dukungan. Namun, cara ini juga sering kali mengarah pada penyebaran informasi yang lebih emosional dan partisan, yang dapat memperburuk polarisasi politik.

 

Dengan semua perubahan yang terjadi, pertanyaan yang muncul adalah apakah endorsement politik akan terus menguasai komunikasi politik di Indonesia, ataukah akan ada ruang bagi opinion leader tradisional untuk kembali memainkan peran penting? Polarisasi yang semakin tajam tentu saja mengkhawatirkan, karena dapat memperburuk kualitas demokrasi dan mengurangi partisipasi publik yang lebih inklusif.

Untuk itu, mungkin sudah saatnya kita merenung dan mencari cara agar komunikasi politik dapat lebih sehat, dengan lebih mengutamakan kebijakan dan nilai yang mendalam, bukan hanya sekedar siapa yang mendukung siapa. Jika polarisasi terus berlanjut, maka tantangan besar menanti dalam membangun demokrasi yang lebih matang dan partisipasi publik yang lebih bermakna di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun