Indonesia sering kali menempati posisi yang rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPC). Korupsi yang merajalela di tingkat institusi pemerintahan bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan budaya yang permisif terhadap penyalahgunaan kepercayaan di tingkat individu.Â
Salah satu contoh terbaru yang memunculkan pertanyaan tentang integritas dan transparansi adalah kasus Agus Salim, yang terjerat dalam polemik terkait pengelolaan dana donasi.Â
Kasus ini tidak hanya melibatkan satu individu, tetapi mencerminkan fenomena sosial yang lebih besar, yaitu bagaimana budaya korupsi telah menggerogoti pola sosial kita sehari-hari.
Budaya Korupsi di Indonesia: Korupsi yang Menjadi Normalitas
Berdasarkan laporan terbaru Indeks Persepsi Korupsi (IPC) 2023, Indonesia masih terjebak dalam stagnasi dalam hal pemberantasan korupsi. Di posisi 115 dari 180 negara, Indonesia hanya meraih skor 34 dari 100, yang menunjukkan tingkat korupsi yang cukup tinggi dan belum ada perubahan signifikan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.Â
Meskipun ada upaya pemerintah untuk memberantas praktik korupsi, angka-angka ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi masalah struktural yang sulit diatasi. Dampaknya tidak hanya terasa di sektor ekonomi, tetapi juga telah merasuk ke dalam moralitas sosial.
Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang dianggap lumrah, dan dalam banyak kasus, penyalahgunaan kekuasaan atau dana publik dipandang sebagai hal yang biasa.Â
Bahkan, di beberapa kalangan masyarakat, hal ini dianggap sebagai bagian dari kelangsungan hidup, yang sering kali dimaafkan dengan alasan pragmatis. Dalam kondisi seperti ini, muncul pola pikir oportunistik di mana seseorang merasa bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau kesempatan adalah hal yang dapat diterima, asalkan tidak tertangkap atau tidak terlalu mencolok.
"Di sebuah negara di mana praktik korupsi sering kali dianggap lumrah, penyalahgunaan kepercayaan bisa muncul di berbagai level---dari birokrat hingga individu yang memanfaatkan empati publik."