Pendidikan adalah pilar kemajuan bangsa, dan peran guru dalam sistem pendidikan tidak bisa dianggap sepele. Namun, bagaimana kita dapat memastikan kualitas pendidikan yang mumpuni jika kesejahteraan dan pengakuan terhadap guru masih menjadi perdebatan? Baru-baru ini, publik Indonesia dibuat heboh dengan pengumuman Presiden Prabowo Subianto mengenai kenaikan tunjangan kesejahteraan guru, yang ternyata menimbulkan banyak salah persepsi. Bagi sebagian guru, pengumuman itu dianggap sebagai kenaikan gaji, namun kenyataannya, yang diumumkan hanyalah penambahan tunjangan profesi untuk guru ASN dan non-ASN. Perdebatan ini bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Padahal, meningkatkan kesejahteraan guru adalah langkah pertama menuju peningkatan kualitas pendidikan. Namun, apakah itu cukup?
Kenaikan Tunjangan Guru, Antara Harapan dan KekecewaanÂ
Pemerintah Indonesia baru saja mengumumkan kenaikan tunjangan kesejahteraan guru pada Puncak Hari Guru Nasional 2024, yang berpotensi menambah polemik. Pengumuman ini tidak hanya disambut suka cita, tetapi juga disertai kekeliruan informasi yang luas di kalangan tenaga pendidik. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan tunjangan bagi guru ASN sebesar satu kali gaji pokok dan peningkatan tunjangan profesi bagi guru non-ASN yang sudah bersertifikat. Namun, informasi ini disalahartikan oleh banyak pihak yang menganggapnya sebagai kenaikan gaji.
Salah satu yang menyoroti hal ini adalah Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Mansur Sipinathe. Ia menyebutkan bahwa banyak guru mengira akan ada kenaikan gaji fantastis, padahal kenyataannya, yang terjadi hanya penyesuaian tunjangan profesi sebesar Rp 500.000 bagi guru non-ASN yang sudah bersertifikat. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), jumlah guru di Indonesia saat ini mencapai 3.365.547 orang, yang terdiri dari ASN dan non-ASN. Dari jumlah tersebut, 1.932.666 orang di antaranya telah memiliki sertifikat pendidik, sementara 1.432.881 orang sisanya belum bersertifikat.Â
Fakta bahwa jumlah guru yang belum bersertifikat masih mencapai 1.432.881 orang menunjukkan bahwa peningkatan tunjangan ini belum dapat dirasakan oleh seluruh kalangan guru. Hal ini menambah kesan bahwa kebijakan tersebut hanya menyentuh sebagian kecil dari tenaga pendidik, sementara banyak guru yang belum memenuhi persyaratan sertifikasi tetap terpinggirkan dari manfaat yang diharapkan. Meskipun penting kenaikan tunjangan ini, ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar dalam kualitas pendidikan Indonesia.
Proses Sertifikasi "Rumit" yang Belum Tuntas
Proses sertifikasi guru di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah, salah satunya adalah rumitnya proses dan keterbatasan kuota yang menimbulkan konflik di kalangan guru. Pemerintah diharapkan untuk mempermudah proses pendidikan profesi guru demi menuntaskan pemberian sertifikasi. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi, pernah menyampaikan bahwa masalah utama yang terus menjadi fokus hingga saat ini adalah sertifikasi guru Indonesia. Proses pendidikan profesi guru (PPG), terlebih bagi guru honorer, yang rumit menimbulkan rasa iri dari para guru, sementara mereka wajib lulus pretest PPG.
Saat ini, guru non-aparatur sipil negara (ASN) sekolah negeri di Indonesia berjumlah sekitar 700.000 orang. Syarat bagi mereka agar dapat mengikuti pretest PPG adalah terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik), memiliki nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK), mendapat surat keputusan pengangkatan dari kepala daerah/dinas, dan status dapodiknya wajib honorer tingkat satu atau dua. Namun, status kepegawaian di dapodik untuk yang masih honorer meski sudah mempunyai NUPTK ditolak oleh sistem dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Proses sertifikasi yang sangat berbelit-belit ini membuat banyak guru merasa kesulitan, apalagi proses sertifikasi dosen yang dianggap lebih mudah. Bahkan, persentase guru yang sudah menerima sertifikasi masih di bawah 50 persen. Padahal, sertifikasi menjadi ukuran dalam menentukan kelayakan profesi guru. Persentase guru yang tersertifikasi terbanyak ada di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) sebesar 48,44 persen, berikutnya di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 45,77 persen. Sementara persentase terkecil di jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK) yang hanya 28,49 persen.
Vietnam, Kunci Kesuksesan Sistem PendidikanÂ
Lalu, apa yang dapat Indonesia pelajari dari negara lain, seperti Vietnam? Negara yang terletak di Asia Tenggara ini sangat  mencuri perhatian dunia dengan kemajuan pesat sistem pendidikannya. Vietnam, meski lebih kecil dari Indonesia, mampu mengungguli banyak negara maju dalam hal literasi, matematika, dan sains. Dalam evaluasi internasional seperti PISA, Vietnam mencatatkan prestasi yang sangat baik, bahkan melampaui negara-negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Keberhasilan Vietnam tidak lepas dari bagaimana mereka memanusiakan guru. Negara ini menjadikan guru sebagai pilar utama pendidikan, dan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui peningkatan gaji dan fasilitas pelatihan berkelanjutan. Bahkan, beban kerja guru di Vietnam diatur sedemikian rupa, memberikan mereka waktu lebih untuk berinovasi dan memberi perhatian kepada setiap siswa.
Pendekatan ini berakar pada filosofi yang mendalam: guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan masa depan generasi muda. Dengan memberikan perhatian khusus pada kesejahteraan dan pengembangan profesional, Vietnam mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif. Bahkan, Pemerintah Vietnam mengalokasikan hampir 21% pengeluaran negara untuk pendidikan, lebih tinggi dari negara-negara OECD. Kurikulum yang terfokus dan investasi berkelanjutan pada guru menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif.Â
Selain itu, keterlibatan komunitas dan keluarga juga menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Vietnam. Pemerintah mendorong kolaborasi antara sekolah, guru, dan orang tua untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih holistik. Hal ini tentunya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, di mana kolaborasi semacam ini masih terbatas di banyak daerah.
Pendidikan adalah pilar kemajuan bangsa, dan peran guru dalam sistem pendidikan tidak bisa dianggap sepele. Namun, bagaimana kita dapat memastikan kualitas pendidikan yang mumpuni jika kesejahteraan dan pengakuan terhadap guru masih menjadi perdebatan? Baru-baru ini, publik Indonesia dibuat heboh dengan pengumuman Presiden Prabowo Subianto mengenai kenaikan tunjangan kesejahteraan guru, yang ternyata menimbulkan banyak salah persepsi. Bagi sebagian guru, pengumuman itu dianggap sebagai kenaikan gaji, namun kenyataannya, yang diumumkan hanyalah penambahan tunjangan profesi untuk guru ASN dan non-ASN.
Perdebatan ini bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Padahal, meningkatkan kesejahteraan guru adalah langkah pertama menuju peningkatan kualitas pendidikan. Namun, apakah itu cukup?
Kenaikan Tunjangan Guru, Antara Harapan dan KekecewaanÂ
Pemerintah Indonesia baru saja mengumumkan kenaikan tunjangan kesejahteraan guru pada Puncak Hari Guru Nasional 2024, yang berpotensi menambah polemik. Pengumuman ini tidak hanya disambut suka cita, tetapi juga disertai kekeliruan informasi yang luas di kalangan tenaga pendidik. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan tunjangan bagi guru ASN sebesar satu kali gaji pokok dan peningkatan tunjangan profesi bagi guru non-ASN yang sudah bersertifikat. Namun, informasi ini disalahartikan oleh banyak pihak yang menganggapnya sebagai kenaikan gaji.
Salah satu yang menyoroti hal ini adalah Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Mansur Sipinathe. Ia menyebutkan bahwa banyak guru mengira akan ada kenaikan gaji fantastis, padahal kenyataannya, yang terjadi hanya penyesuaian tunjangan profesi sebesar Rp 500.000 bagi guru non-ASN yang sudah bersertifikat. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), jumlah guru di Indonesia saat ini mencapai 3.365.547 orang, yang terdiri dari ASN dan non-ASN. Dari jumlah tersebut, 1.932.666 orang di antaranya telah memiliki sertifikat pendidik, sementara 1.432.881 orang sisanya belum bersertifikat.Â
Fakta bahwa jumlah guru yang belum bersertifikat masih mencapai 1.432.881 orang menunjukkan bahwa peningkatan tunjangan ini belum dapat dirasakan oleh seluruh kalangan guru. Hal ini menambah kesan bahwa kebijakan tersebut hanya menyentuh sebagian kecil dari tenaga pendidik, sementara banyak guru yang belum memenuhi persyaratan sertifikasi tetap terpinggirkan dari manfaat yang diharapkan. Meskipun penting kenaikan tunjangan ini, ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar dalam kualitas pendidikan Indonesia.
Proses Sertifikasi "Rumit" yang Belum Tuntas
Proses sertifikasi guru di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah, salah satunya adalah rumitnya proses dan keterbatasan kuota yang menimbulkan konflik di kalangan guru. Pemerintah diharapkan untuk mempermudah proses pendidikan profesi guru demi menuntaskan pemberian sertifikasi. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi, pernah menyampaikan bahwa masalah utama yang terus menjadi fokus hingga saat ini adalah sertifikasi guru Indonesia. Proses pendidikan profesi guru (PPG), terlebih bagi guru honorer, yang rumit menimbulkan rasa iri dari para guru, sementara mereka wajib lulus pretest PPG.
Saat ini, guru non-aparatur sipil negara (ASN) sekolah negeri di Indonesia berjumlah sekitar 700.000 orang. Syarat bagi mereka agar dapat mengikuti pretest PPG adalah terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik), memiliki nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK), mendapat surat keputusan pengangkatan dari kepala daerah/dinas, dan status dapodiknya wajib honorer tingkat satu atau dua. Namun, status kepegawaian di dapodik untuk yang masih honorer meski sudah mempunyai NUPTK ditolak oleh sistem dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Proses sertifikasi yang sangat berbelit-belit ini membuat banyak guru merasa kesulitan, apalagi proses sertifikasi dosen yang dianggap lebih mudah. Bahkan, persentase guru yang sudah menerima sertifikasi masih di bawah 50 persen. Padahal, sertifikasi menjadi ukuran dalam menentukan kelayakan profesi guru. Persentase guru yang tersertifikasi terbanyak ada di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) sebesar 48,44 persen, berikutnya di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 45,77 persen. Sementara persentase terkecil di jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK) yang hanya 28,49 persen.
Vietnam, Kunci Kesuksesan Sistem PendidikanÂ
Lalu, apa yang dapat Indonesia pelajari dari negara lain, seperti Vietnam? Negara yang terletak di Asia Tenggara ini sangat  mencuri perhatian dunia dengan kemajuan pesat sistem pendidikannya. Vietnam, meski lebih kecil dari Indonesia, mampu mengungguli banyak negara maju dalam hal literasi, matematika, dan sains. Dalam evaluasi internasional seperti PISA, Vietnam mencatatkan prestasi yang sangat baik, bahkan melampaui negara-negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Keberhasilan Vietnam tidak lepas dari bagaimana mereka memanusiakan guru. Negara ini menjadikan guru sebagai pilar utama pendidikan, dan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui peningkatan gaji dan fasilitas pelatihan berkelanjutan. Bahkan, beban kerja guru di Vietnam diatur sedemikian rupa, memberikan mereka waktu lebih untuk berinovasi dan memberi perhatian kepada setiap siswa.
Pendekatan ini berakar pada filosofi yang mendalam: guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membentuk karakter dan masa depan generasi muda. Dengan memberikan perhatian khusus pada kesejahteraan dan pengembangan profesional, Vietnam mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif. Bahkan, Pemerintah Vietnam mengalokasikan hampir 21% pengeluaran negara untuk pendidikan, lebih tinggi dari negara-negara OECD. Kurikulum yang terfokus dan investasi berkelanjutan pada guru menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif.Â
Selain itu, keterlibatan komunitas dan keluarga juga menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Vietnam. Pemerintah mendorong kolaborasi antara sekolah, guru, dan orang tua untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih holistik. Hal ini tentunya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, di mana kolaborasi semacam ini masih terbatas di banyak daerah.
Lalu, Apa yang Seharusnya Dilakukan Indonesia?
Menjadi jelas bahwa meskipun Indonesia telah membuat beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk mencapai sistem pendidikan yang lebih baik. Salah satu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki proses sertifikasi guru yang rumit dan memakan waktu. Pemerintah harus mencari solusi untuk menyederhanakan proses sertifikasi agar lebih banyak guru yang dapat memperoleh sertifikat tanpa kesulitan. Hal ini akan membuka akses bagi lebih banyak guru untuk menikmati tunjangan yang lebih baik, serta meningkatkan kualitas pengajaran di seluruh Indonesia.
Selain itu, Indonesia harus mengalokasikan lebih banyak dana untuk pendidikan, mengikuti jejak Vietnam yang menginvestasikan 21% dari anggaran negara untuk sektor pendidikan. Ini akan membantu menyediakan pelatihan berkualitas bagi guru, perbaikan fasilitas sekolah, serta menciptakan program-program inovatif yang bisa mendukung perkembangan siswa.
Kemudian, meningkatkan kolaborasi antara sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan holistik. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mendorong lebih banyak kerja sama dengan orang tua dan masyarakat untuk mengoptimalkan potensi siswa. Di banyak daerah di Indonesia, keterlibatan orang tua dalam pendidikan masih terbatas, padahal mereka bisa memberikan dukungan besar dalam keberhasilan pendidikan anak-anak mereka.
Tak kalah penting, pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan guru, tidak hanya dalam hal gaji dan tunjangan, tetapi juga dalam hal keseimbangan pekerjaan dan kehidupan. Mengatur beban kerja guru agar tidak terlalu berat, memberikan mereka waktu untuk berinovasi, dan mendukung mereka untuk terus mengembangkan diri secara profesional akan membuat mereka lebih bersemangat dalam mengajar dan membimbing generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H