Indonesia tengah dilanda krisis kesehatan mental yang tersembunyi, yang secara tragis terekam dalam kasus mengerikan yang terjadi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Seorang remaja berusia 14 tahun, MAS, diduga tega menghabisi nyawa ayah dan neneknya, serta melukai sang ibu setelah mendengar "bisikan gaib". Kasus ini menggemparkan masyarakat, karena MAS dikenal sebagai anak yang pendiam dan sopan oleh tetangga sekitar. Namun, tindakan brutal ini membuka tabir gelap tentang faktor-faktor yang mendorong perilaku kekerasan, terutama di kalangan remaja.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, fenomena ini bukanlah kejadian pertama. KPAI menyoroti pentingnya pola asuh keluarga dan lingkungan pendidikan dalam membentuk perilaku anak. "Perilaku anak yang melanggar hukum perlu dilihat dari berbagai faktor risiko, yang tidak hanya berasal dari anak itu sendiri, tetapi juga dari lingkungan keluarga dan sosial," ujar Dian dalam keterangan yang diterima Kompas.com.
Pola pengasuhan yang kurang baik dan pengaruh lingkungan yang penuh kekerasan, baik fisik maupun verbal, dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak. Kriminolog UI, Haniva Hasna, juga menekankan pentingnya melihat permasalahan keluarga yang sudah berlangsung lama. Seperti kekerasan verbal yang kerap kali dianggap remeh bisa menjadi salah satu pemicu kemarahan yang akhirnya meledak dalam tindakan kekerasan. "Kekerasan verbal sering diabaikan, padahal luka psikologis yang ditinggalkannya bisa sangat mendalam," jelas Hasna.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah dugaan gangguan mental yang mungkin dialami oleh MAS. Hasil pemeriksaan sementara menyebutkan bahwa MAS tidak terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, namun ada kemungkinan gangguan mental seperti skizofrenia yang belum diketahui. Gangguan mental pada anak, yang sering tidak terdiagnosis atau terlambat mendapat penanganan, sering kali menjadi pemicu tindakan yang tidak rasional.
Skizofrenia dan Stigma yang Menghantui
Skizofrenia, salah satu gangguan jiwa yang sering disebutkan dalam kasus-kasus kekerasan seperti ini, menjadi masalah yang semakin mendesak di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Indonesia menduduki peringkat tertinggi di dunia dalam hal prevalensi skizofrenia. Diperkirakan sekitar 450 ribu orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, dan sebagian besar penderita tinggal di daerah perdesaan. Namun, meskipun angka ini tinggi, masalah utama bukan hanya terletak pada tingginya prevalensi, tetapi juga pada stigma yang mengiringi penderita gangguan jiwa.
Di Indonesia, orang dengan gangguan jiwa sering kali diberi label buruk seperti "gila" atau "sakit jiwa," yang semakin memperburuk kondisi mental mereka. Hal ini diungkapkan oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, yang mengatakan bahwa stigma ini memperburuk keadaan pasien, yang seringkali menjadi korban kekerasan baik secara fisik maupun verbal. "Pasien gangguan jiwa sering menjadi korban kekerasan dan trauma akibat stigma sosial," kata dr. Jiemi, sebagaimana dilansir dari Kompas.com.
Dampak dari diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa bukan hanya terlihat dalam cara mereka diperlakukan di masyarakat, tetapi juga dalam akses mereka terhadap layanan kesehatan yang layak. Banyak pasien yang terpaksa dibiarkan tanpa perawatan yang memadai, bahkan dalam beberapa kasus, mereka dipasung dan ditelantarkan. Padahal, pengobatan dan dukungan psikososial yang tepat dapat membantu mereka untuk hidup lebih baik.
 Mengatasi Krisis Kesehatan Mental di IndonesiaÂ
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk yang religius, Indonesia sering kali gagal dalam memberikan ruang diskusi terbuka tentang kesehatan mental. Stigma yang melekat pada gangguan jiwa menghalangi banyak orang untuk mencari bantuan. Padahal, peran keluarga, komunitas, dan negara sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Penyelesaian masalah ini memerlukan kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat mengenai gangguan jiwa dan dampaknya, serta menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi mereka yang membutuhkan. Hal ini termasuk mengurangi stigma terhadap anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan mental, sehingga mereka tidak merasa terisolasi atau dihukum atas kondisi yang di luar kendali mereka.
Kita juga harus lebih perhatian terhadap cara kita mendidik anak-anak, terutama dalam hal pola asuh dan komunikasi dalam keluarga. Pengasuhan yang penuh kasih sayang dan penghargaan terhadap perasaan anak akan membantu mereka tumbuh menjadi individu yang sehat secara mental.
Kasus tragis yang terjadi di Lebak Bulus harus menjadi wake-up call bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang satu keluarga, tetapi mencerminkan masalah sosial yang lebih besar mengenai kesehatan mental di Indonesia. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengasuhan yang baik, perlunya dukungan psikologis yang memadai, dan penanggulangan stigma terhadap penderita gangguan jiwa, kita dapat berharap untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Kita semua berperan dalam memastikan bahwa anak-anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H