Pilkada serentak 2024 yang diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota pada 27 November menyajikan beragam kejutan dalam fenomena politik terutama pada Pilkada Banten.Â
Pilkada Banten 2024 menjadi panggung bagi perjuangan keluarga besar Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten yang tersandung kasus korupsi. keikutsertaan anggota keluarga Atut, seperti Airin Rachmi Diany dan anaknya Andika Hazrumy, dalam kompetisi politik Banten kali ini memperlihatkan sebuah pergeseran kekuatan yang mengejutkan. Hasil dari pilkada ini tidak hanya mencatatkan kekalahan mereka, tetapi juga mengundang berbagai interpretasi dari pengamat politik dan melihatnya dari sudut pandang yang lebih kompleks, mulai dari fenomenologi sosial hingga komunikasi politik.
Kekuatan Dinasti dan Anomali Kemenangan Andra Soni
Airin Rachmi Diany, yang maju sebagai calon gubernur dengan dukungan Partai Golkar Banten dan PDIP, semula diprediksi akan menang telak. Berdasarkan berbagai survei, elektabilitasnya bahkan mencapai lebih dari 70%, sementara lawannya, Andra Soni, tercatat dengan angka jauh di bawahnya. namun, hasil quick count yang diliris lembaga survei seperti LSI Denny JA menunjukkan kekalahan mengejutkan bagi Airin, dengan pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusuma meraih 55,25% suara, sementara Airin-Ade hanya mendapatkan 44,75% suara.Â
Fenomena ini menandai runtuhnya Dinasti Banten yang sebelumnya kokoh dengan trah keluarga Atut, yang dominasi politiknya terasa hingga ke berbagai kabupaten dan kota di Banten.Â
Fenomena Sosial: Penolakan Terhadap Dinasti Politik dan Korupsi
Dari perspektif fenomenologi sosial, kekalahan ini dapat dilihat sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap dinasti politik yang telah mengakar lama di Banten. Masyarakat Banten yang semakin sadar akan pentingnya trasnparansi dan pemberantasan korupsi menganggap bahwa keberlanjutan kekuasaan keluarga Atut hanya akan memperburuk kondisi tersebut. Terlebih, keluarga Atut dikenal dengan catatan buruk terkait kasus korupsi yang menimpa Ratu Atut dan suaminya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), yang sempat menjadi sorotan publik.Â
Para pengamat politik seperti Adib Miftahul, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), menyatakan bahwa elektabilitas tinggi tidak menjamin kemenangan dalam Pilkada. Andra Soni dan pasangannya, Dimyati Natakusuma, mengusung visi yang berbeda, dengan menonjolkan tagline "tidak korupsi", yang secara langsung mengkritik warisan politik di Banten yang kini lebih mengutamkan integritas dan anti-korupsi sebagai landasan dalam memilih pemimpin.Â
Komunikasi Politik: Membangun Identitas yang Berbeda
Komunikasi politik juga memainkan peran penting dalam Pilkada Banten kali ini. Andra Soni, yang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM), berhasil menggandeng banyak pemilih melalui pendekatan kampanye yang lebih riang gembira dan menyentuh masyarakat. Ini berbeda dengan gaya kampanye konvensional yang masih digunakan oleh kandidat dari keluarga Atut, seperti Airin, yang cenderung mengandalkan mobilisasi massa dan tokoh-tokoh masyarakat. Dari sisi komunikasi, Andra sukses menciptakan identitas baru bagi dirinya sebagai figur yang lebih segar dan terbebas dari masa lalu yang penuh kontroversi.Â
Psikologi Pemilih: Peresepsi dan Kepuasan terhadap Dinasti Politik
Dari sudut pandang psokologi politik, kemenangan Andra Soni juga mencerminkan perubahan persepsi masyarakat terhadap kekuasaan keluarga Atut. Masyarakat, yang merasa jenuh dengan kepemimpinan yang stagnan, akhirnya memilih perubahan. Salah satu faktor psikologis yang mencolok adalah penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dinasti politik yang dianggap tidak mampu memberikan perubahan signifikan bagi daerah tersebut.Â
Selain itu, ada pula faktor kekecewaan terhadap janji-janji pembangunan yang belum terealisasi. Hal ini tercermin dalam hasil Pilkada yang memperlihatkan bagaimana masyarakat lebih memilih pemimpin yang menawarkan visi pembangunan konkret dan mampu membawa Banten menuju arah yang lebih baik.Â
Endorsement Prabowo Subianto: Kekuatan Dukungan Politik di Balik Kemenangan Andra-Dimyati
Dalam konteks politik nasional, kemenangan Andra-Dimyati juga tidak lepas dari dukungan politik yang kuat,termasuk endorsement dari Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8 sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. Dukungan ini memberikan pengaruh besar terhadap pemilih di Banten yang sudah lama menjadi basis suara Golkar. Dukungan Prabowo tidak hanya memberikan legitimasi politik kepada Andra, tetapi juga memberi dampak pada peningkatan citra Andra sebagai kandidat yang memiliki koneksi politik yang kuat di tingkat pusat.Â
Dengan kekalahan Airin dan anggota keluarga Atut lainnya, seperti Andika Hazrumy dan Ratu Ria, pada Pilkada Banten 2024, bisa dikatakan bahwa dinasti politik Banten yang sebelumnya dikendalikan oleh keluarga Atut telah runtuh. Pergeseran kekuatan ini menjadi titik balik bagi politik di Banten, yang kini menuju era baru dengan harapan adanya kepemimpinan yang lebih bersih dan berfokus pada pembangunan yang lebih progresif.Â
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa dinasti politik dan popularitas tinggi dalam survei tidak selalu menjamin kemenangan, terutama di tengah kondisi sosial yang semakin menuntut adanya perubahan. Politisi dan partai yang dapat membaca situasi dengan baik dan beradaptasi dengan kehendak rakyat, seperti yang dilakukan Andra-Dimyati, akan memiliki peluang lebih besar untuk meraih kemenangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H