Mohon tunggu...
Saniatu Aini
Saniatu Aini Mohon Tunggu... -

family science, gender,craft,food

Selanjutnya

Tutup

Nature

Akankah Konsumsi Kita Menjadi Bencana Untuk Alam?

18 September 2013   22:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Alam dan kita memiliki hubungan spesial nan erat. Alam bagaikan wadah yang mampu memfasilitasi kebutuhan kita sebagai manusia. Alam dengan fasilitasnya yang mewah, menawarkan berjuta kenikmatan yang tiada taranya dan tiada duanya. Apapun yang kita inginkan, sudah PASTI tersedia di alam. Oksigen yang tiada hentinya masuk dan memberikan kita kesempatan untuk hidup, begitupun dengan tumbuhan dan hewan. Hingga ketika usia sekolah kita mengenal apa yang dinamakan rantai makanan.

Rantai makanan, dengan siklusnya yang selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan. Ya, KESEIMBANGAN, keseimbangan yang tercipta untuk kita dan kelangsungan hidup kita. Tapi, kenapa dengan begitu tanpa dosanya, justru kita sendiri yang menghancurkan semua keseimbangan yang tercipta sempurna dan dipersembahkan khusus untuk kita. Kita telah lama merusak siklus keseimbangan itu.

Hidupnya manusia tentu saja memerlukan pengorbanan nyawa. Nyawa makhluk hidup lain, yang dengan keikhlasan dan kepasrahannya merelakan dirinya mati untuk kehidupan kita. Pernahkah kita menghitung berapa banyak sayuran, tumbuhan, buah-buahan, dan hewan yang mati berkorban untuk kelangsungan hidup kita? Pengorbanan yang diwujudkan dalam sajian enak yaitu makanan. Berapa liter air yang kita pakai untuk mandi, mencuci, hingga minum selama ini. Berapa banyak logam-logam dan minyak bumi yang habis terkeruk untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, berkendara, hingga gadget yang sangat lekat dengan genggaman tangan kita? Tentu jawabannya banyak dan sangat banyak. Saking banyaknya, kitapun lupa menghitung bahkan cenderung abai atas apa-apa yang telah kita konsumsi yang semuanya itu kita peroleh dari alam.

Nyawa yang dikorbankan, bukan berarti kita hentikan untuk tidak menambah korban selanjutnya, hanya demi kelangsungan hidup kita. Hanya saja, ketika alam telah memberikan begitu banyak kemewahannya, ingatkah kita untuk setidak-tidaknya berusaha melakukan langkah kecil untuk menjaga keseimbangan alam kita. Karena kunci terkecil yang paling mudah untuk mengendalikan semua ini hanya satu, ya hanya satu. MENGENDALIKAN KONSUMSI. Hingga Mahatma Gandi mengatakan bahwa bumi ini mampu memberikan makan semua manusia di dunia, tetapi bumi tidak mampu memberi makan satu orang yang rakus.

Perubahan jaman yang begitu pesat, mobilitas manusia yang semakin meningkat, hingga perkembangan ilmu pengetahuan yang mengantarkan kita pada percepatan perubahan-perubahan yang sangat pesat. Maka timbulah keinginan untuk memiliki power "I'm thinking therefore I'm" (Descartes). Kini, kita melihat sendiri semua dampak akumulasi atas keinginan yang mengantarkan kita pada status kekuasaan yang melahirkan penghormatan manusia.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang pesat nan tinggi, kini merupakan impian semua negara. Baik itu negara yang nyata-nyatanya telah maju begitupun negara berkembang yang memiliki impian untuk masuk ke dalam lingkaran negara-negara maju. Tapi akankah pertumbuhan ekonomi merupakan fokus utama suatu keberhasilan dan kesejahteraan? Bukankah dengan semakin tingginya status ekonomi seseorang maka berbanding lurus dengan "will to power" untuk menguasai semua aset-aset fisik, dimana penguasaan aset fisik inilah yang melahirkan perilaku konsumsi tinggi.

Semakin tinggi status sosial, biasanya  berbanding lurus dengan semakin tingginya  keinginan penghormatan yang ditunjukan pada dirinya. Penghormatan termudah akan lahir ketika orang lain melihat keberhasilan aset fisik yang dimiliki. Naiknya jabatan  secara otomatis akan merubah pola konsumsi seseorang. Contohnya tidak cukup dengan sepeda motor, maka timbulah keinginan untuk memiliki mobil. Celakanya setelah memiliki mobil kepuasaan itu tidak terhenti begitu saja, lahirlah keinginan untuk memiliki mobil yang lebih bagus nan mahal. Belum puas dengan jumlahnya yang hanya terparkir satu di garasi, maka timbulah keinginan untuk mengoleksi mobil-mobil lainnya. Begitupun dengan rumah. Tidak puas memiliki rumah di suatu daerah, maka untuk meningkatkan status sosial dibelilah rumah-rumah lain yang mungkin saja jaraknyapun saling berdekatan atau bahkan berjauhan.

Alhasil, jalan raya kini macetnya semakin membuat pusing kepala. Karena orang-orang dengan alasan tingginya "mobilitas" sibuk untuk pamer berkendara. Tidak hanya berkendara, karena alasan investasi yang menggiurkan karena nilai jual yang selalu meningkat, lahan-lahan kosong yang ditumbuhi pohon hingga lahan persawahan, dibabat habis untuk ditanami hunian-hunian. Padahal sebanyak apapun mobil yang kita punya, sesungguhnya kita hanya membutuhkan satu mobil saja untuk kita kendarai. Selebihnya, untuk sementara menjadi penghias cantik garasi. Begitupun dengan rumah. Seluas dan sebanyak apapun rumah yang kita punya, kita hanya membutuhkan beberapa meter saja untuk beristirahat (tidur) dan hanya satu tempat saja yang kita butuhkan. Tentu Anda tidak dapat membayangkan, bagaimana jadinya Anda menggunakan semua kamar pribadi pada rumah-rumah yang Anda punya, pada satu malam. Tentu Anda akan menjawab, sebenarnya hanya satu kamar tidur pada satu rumah saja yang dapat Anda gunakan untuk beristirahat.

Indonesia Kita

Rakyat kita menjerit dan memaki pemerintah ketika harga BBM melambung begitu tinggi. Padahal semua makian dan jeritan yang terlontar, tidak lain hanya alasan manis untuk membela perilaku boros kita agar dapat terus berlangsung dengan mulus dan murah. Melambungnya harga BBM seakan angin lalu yang menjadi pengingat perilaku buruk konsumsi kita. Mudah dan murahnya kredit kendaraan bermotor kini membuat masyarakat kita kalap untuk terus meningkatkan aset fisik yang nampak dan terlihat jelas oleh mata, dengan alasan lain yang tersembunyi, meningkatkan status sosial dan penghormatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun